Di G20, Sri Mulyani Ungkap Cara Tagih Pajak Google hingga Facebook

Foto:BPMI Setpres
Sri Mulyani ungkap cara tagih pajak Google hingga Facebook.
Penulis: Michael Reily
9/6/2019, 13.14 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini belum tercermin dalam penerimaan perpajakan di Indonesia. Untuk itu, ia fokus merumuskan kebijakan guna menarik pajak dari perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook secara maksimal.

Salah satu caranya, dengan mendefinisikan ulang Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sebab, menurutnya, salah satu tantangan dalam perpajakan di era digital ini adalah kehadiran secara fisik dari perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Padahal, BUT atau permanent establishment menjadi konsep dasar sistem perpajakan internasional.

Menurutnya, Indonesia yang memiliki sekitar 100 juta pengguna internet dari 260 juta penduduk semestinya memperoleh keuntungan dari perkembangan ekonomi digital. “Realisasi penerimaan perpajakan (dari perkembangan ekonomi digital) belum tercermin dari besaran pengguna internet dan jumlah penduduk tersebut,” ujar dia melalui akun Instagram-nya @smindrawati, kemarin (8/6).

(Baca: Rudiantara: Google Akan Transaksi dalam Rupiah)

Hal ini ia sampaikan dalam G20 Ministerial Symposium on International Taxation di Jepang. Ia menjadi salah satu panelis dalam sesi bertajuk tantangan perpajakan di era digital.

Selain perihal definisi BUT, kompleksitas struktur ekonomi digital menjadi tantangan lain bagi pemerintah dalam memungut pajak. Menurutnya, pemerintah perlu menyusun kebijakan, khususnya perhitungan kuantitatif terkait kehadiran perusahaan digital atau significant presence.

(Baca: Tiga Persoalan Sebelum Pemerintah Tarik Pajak Produk Digital)

Tantangan lainnya adalah mendefinisikan yurisdiksi pajak rendah atau bahkan tanpa pajak (low or no tax jurisdictions). Selain itu, pemerintah perlu mengkaji cara mengalokasikan hak pemajakan, terutama terkait formula dan dasar perhitungannya.

Menurutnya, perlu ada sistem perpajakan internasional baru guna menjamin pemajakan yang adil antar negara di era digital ini. Di satu sisi, 130 negara dan yurisdiksi juga sudah bekerja sama perihal pertukaran informasi secara otomatis yang dikenal Automatic Exchange of Information (AEoI) untuk mencegah penghindaran pajak (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS).

Para Pejabat Keuangan di G20 Sepakat Tutup Celah Pajak Google hingga Facebook

Para pejabat keuangan yang hadir dalam pertemuan G20 itu pun menyusun aturan umum untuk menutup celah pajak dari perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook. Sebab, beberapa negara mencatat, perusahaan teknologi mengurangi tagihan pajak dengan membukukan keuntungan di negara-negara yang tarif pajaknya rendah.

Melalui aturan baru tersebut, negara atau yurisdiksi akan dipersulit jika menarik investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dengan menjanjikan tarif pajak yang sangat rendah. “Kami akan menggandakan upaya kami untuk solusi berbasis konsensus dengan laporan akhir pada 2020,” demikian dikutip dari rancangan communique G20 dilansir dari Reuters, kemarin (8/6).

(Baca: Rencana Revisi Peraturan Perusahaan Digital Tersandera Pilpres 2019)

Pertemuan G20 juga membahas dua pilar terkait pajak perusahaan digital. Pertama, membagi kewajiban pajak terhadap perusahaan yang memperjualbelikan barang dan atau jasa baik yang berwujud maupun tidak. Kedua, mengantisipasi suatu perusahaan menemukan jalan untuk membukukan keuntungan dengan pajak yang rendah. Caranya, negara yang bersangkutan harus menerapkan rata-rata pajak minimum global.

Meski begitu, masih ada perdebatan perihal definisi bisnis digital dan cara mendistribusikan otoritas pajak antar negara. "Ada perbedaan antara Amerika Serikat (AS) dan Inggris atas pilar pertama,” kata seorang pejabat senior kementerian keuangan Jepang yang hadir di G20.

Kelompok G7 juga belum sepakat terkait pilar kedua. Negara yang tergabung dalam G7 di antaranya Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS.  

(Baca: Pelajaran Pajak Digital dari Amazon dan Australia)

Reporter: Michael Reily