Pelaku pasar melihat peluang Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed), memangkas suku bunga acuan dalam waktu dekat. Ini seiring berlarutnya perang dagang yang dikhawatirkan menekan ekonomi Negeri Paman Sam. Ekonom mengingatkan Bank Indonesia (BI) agar tidak terlambat merespons.
Direktur Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah Redjalam berpendapat, BI bisa saja mendahului langkah The Fed untuk memangkas bunga acuan. "Tapi jangan sampai salah. Menurunkan bunga acuan lebih besar bahayanya daripada menaikkan bunga acuan," kata dia kepada katadata.co.id, Jumat (7/6).
Menurut dia, BI harus mampu memperkirakan waktu dan besaran penurunan Fed Fund Rate. Selain itu, BI harus mengkalkulasi dampak penurunan tersebut. "BI tidak boleh terlambat dan tidak boleh mendahului The Fed terlalu lama," ujarnya.
(Baca: Enam Bulan Berturut-Turut, BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 6%)
Ia menjelaskan, pada prinsipnya, penurunan bunga acuan dilakukan untuk melonggarkan likuiditas dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Namun, hal ini akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, terutama bila The Fed ternyata masih mempertahankan bunga acuannya.
Terlebih lagi, Indonesia memiliki masalah pelebaran defisit transaksi berjalan yang membebani nilai tukar rupiah.
Di sisi lain, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai ruang pemangkasan bunga acuan oleh BI terbuka lebar. "Bahkan sebelum The Fed turunkan bunga, BI bisa lakukan kebijakan preemptives dengan penurunan 25-50 basis points," ujarnya.
(Baca: Peringkat Indonesia Naik, Saatnya Perbaiki Investasi Langsung Asing)
Alasannya, kurs rupiah terpantau stabil meski kondisi ekonomi global dibayangi ketidakpastian. Situasi ini menunjukkan tidak ada alasan bagi BI untuk mempertahankan bunga acuan lebih lama. Apalagi, sampai menunggu The Fed mengerek bunga acuannya duluan. "Kebijakan preemptive dan ahead the curve harus dilakukan secepatnya," kata dia.
Ia menjelaskan, pemangkasan bunga acuan dapat memberikan stimulus pada sektor riil. Bunga kredit diharapkan turun sehingga bisa mendorong pengusaha untuk segera berekspansi. Selain itu, perang likuiditas perbankan diharapkan dapat mereda, dan beban bunga surat utang negara menurun.
Para petinggi The Fed akan kembali menggelar rapat kebijakan pada 18-19 Juni mendatang. Pelaku pasar mulai mengeluarkan prediksi tentang arah Fed Fund Rate. Sebagian melihat peluang pemangkasan seiring prospek pertumbuhan ekonomi AS yang lebih rendah seiring peningkatan tensi dagang antara AS dan mitranya.
(Baca: Pertumbuhan Ekonomi Global Melambat, RI Tak Bisa Andalkan Ekspor)
Beberapa hari lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell sempat menyatakan akan memantau dampak perang dagang -- yang belum akan segera berakhir – terhadap ekonomi AS. The Fed bakal bertindak selayaknya untuk mencapai target penyerapan tenaga kerja, dan inflasi.