Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB dengan prospek stabil. S&P menilai peringkat utang jangka panjang Indonesia naik karena utang pemerintah yang dinilai relatif rendah, pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih cepat dan kinerja fiskal yang moderat.

Bahkan S&P menaikkan peringkat kredit pemerintah jangka pendek dari AAA menjadi AA. "Ekonomi Indonesia bertumbuh relatif lebih cepat dibandingkan negara lainnya yang memiliki tingkat pendapatan serupa," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution,di Jakarta, Jumat (31/5).

Menurutnya, survei ini mencerminkan kondisi kebijakan Indonesia yang konstruktif, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi kedepannya. Selain itu, diproyeksikan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) Indonesia juga akan mengalami perbaikan.

(Baca: S&P Naikkan Peringkat Utang Indonesia, IHSG Melesat Naik 1,72%)

Namun, ia menjelaskan meski kurs perlahan akan membaik, namun negara masih bergulat untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan, yang disebabkan karena adanya defisit neraca perdagangan di sektor minyak dan gas (migas). " Sebetulnya kami masih bergulat seperti di sektor migas. Sudah cukup banyak cerita soal itu," ujarnya.

Adapun defisit neraca dagang April 2019 mencapai US$ 2,5 miliar, terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Defisit ini disebabkan meningkatnya defisit neraca perdagangan migas dari US$ 400 juta pada Maret menjadi US$ 1,5 miliar pada April. Sementara, neraca perdagangan nonmigas juga menurun secara bulanan, dari surplus US$ 1,1 miliar menjadi sebesar US$ 1 miliar.

Mitra dagang seperti Amerika Serikat (AS), India, Filipina, Belanda, dan Malaysia menyumbang surplus perdagangan nonmigas terbesar selama April 2019. Secara total, defisit dengan keseluruhan mitra dagang mecapai US$ 2 miliar. Sementara itu, Tiongkok, Thailand, Jepang, Australia, dan Korea Selatan menyumbang defisit perdagangan nonmigas terbesar yang secara total mencapai US$ 3 miliar.

Secara kumulatif, neraca perdagangan periode Januari-April 2019 masih mengalami defisit US$ 2,6 miliar. Hal ini disebabkan besarnya defisit neraca perdagangan migas yang mencapai US$ 2,8 miliar. Sementara, neraca perdagangan nonmigas hanya menyumbang surplus US$ 200 juta.

(Baca: Pemerintah Bidik Investasi Jepang di Sektor Industri Baja dan Kimia)

Reporter: Fariha Sulmaihati