Pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir berkisar di angka 5%. Namun, Head of Research Deutsche Verdana Securities Heriyanto Irawan menilai Indonesia masih punya masalah pendanaan untuk membiayai pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Menurutnya, ketersediaan dolar Amerika Serikat (AS) di Indonesia sangat minim. Di mengatakan, jika seluruh dolar di perbankan digabungkan, maka jumlahnya hanya sekitar US$ 60 miliar atau setara Rp 863,85 triliun.
Dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang mencapai US$ 1.000 triliun, maka rasionya hanya 6%. Padahal sekitar 20 tahun yang lalu, rasio tersebut berada di angka 20%.
"Penting untuk memahami kenapa ekonomi kita pelan. Menurut saya, Indonesia sama sekali tidak kekurangan sumber pertumbuhan. Tapi kita masih belum sanggup mendanai pertumbuhan ini," kata Heriyanto dalam acara Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) di Jakarta, Senin (27/5).
Menurutnya, jika pemerintah hanya berpikir soal pertumbuhan ekonomi di satu sisi saja tanpa memikirkan pendanaan pertumbuhannya, maka bakal terjadi defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD). "Tanpa kita sadari, setiap hari kita semua lagi menguras dolar yang ada di Indonesia," kata Heriyanto.
(Baca: Gejolak Politik Mereda, Investasi Industri Diprediksi Naik Kuartal II)
Karena impor yang terus mengalami kenaikan, sedangkan ekpor menurun, membuat persediaan dolar di dalam negeri terus terkuras. Hal itu yang membuat rasio yang tadinya 20%, turun menjadi 6%.
Indonesia Terjebak Perangkap Pertumbuhan
Menurutnya, saat ini Indonesia mengalami perangkap pertumbuhan (growth trap), di mana pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan impor yang semakin tinggi. Dengan impor yang naik, maka rupiah menjadi melemah karena persediaan dolar dalam negeri terkuras. Dengan rupiah yang melemah, maka pertumbuhan ekonomi juga akan melemah.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat akan membuat impor turun. Efeknya, rupiah menjadi stabil dan membuat perekonomian tumbuh kembali, dan siklusnya berulang kembali.
"Satu hal lagi, suka-tidak suka, Indonesia semua barang yang kita konsumsi, berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan dolar," katanya.
Meski begitu, dia optimis dalam dua tahun ke depan, rasio yang tadinya 6% tersebut, mampu secara perlahan naik menjadi di kisaran 7% atau 8%. Optimisme tersebut datang dari kesadaran pemerintah saat ini untuk menambah persediaan dolar di dalam negeri.
"Presiden Joko Widodo memahami konsep ini, bahwa masalah Indonesia adalah masalah kekurangan pendanaan pertumbuhan," katanya.
(Baca: Tekanan Global dan Domestik Mereda, Rupiah Menguat ke 14.440 per US$)
Keluar dari Jebakan Pertumbuhan
Beberapa langkah pemerintah, dia contohkan, seperti melakukan hilirisasi produk tambang untuk mememberikan nilai tambah ketika produk tersebut diekspor. Sehingga bakal mendatangkan dolar yang lebih besar.
Termasuk langkah pemerintah dalam menggenjot pariwisata agar mampu menarik turis mancanegara sehingga mendapatkan dolar. Hingga, langkah pemerintah dalam menarik investasi langsung oleh asing (foreign direct investment/FDI).
Dengan menambah persediaan dolar dalam negeri tersebut, maka rasio tersebut bisa secara naik secara bertahap. Hal itu menjadi langkah agar Indonesia mampu keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi.
"Kalau pertumbuhan ekonomi terjadi, lalu impor naik, maka tidak ada masalah karena dolarnya cukup untuk mendanai pertumbuhan itu," kata Heriyanto.
Menurut Heriyanto, dengan begitu Indonesia menjadi menarik untuk investasi meski dalam jangka panjang. Karena efek dari upaya pemerintah mendatangkan dolar, tidak serta merta dapat langsung terjadi, namun perlu waktu agar hal tersebut berjalan dengan sukses.
Sehingga, untuk beberapa tahun ke depan, espektasi pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya sekitar 5% saja. Namun dia menilai, realisasi di lapangan dari hasil upaya pemerintah tersebut sudah cukup sukses. Seperti peningkatan turis di Manado dan beberapa lokasi lainnya.
Lalu, untuk produk hilirisasi tambang, dia mencontohkan kawasan industri di Morowali, di mana hanya dalam beberapa tahun saja, di lokasi tersebut sudah dibangun banyak pabrik produk hilirisasi.
(Baca: Bappenas Lihat Ekonomi Stagnan karena Investor Tunggu Hasil Pilpres)