Kementerian Keuangan mencatat pendapatan negara hingga April lalu mencapai Rp 530,7 triliun atau hanya tumbuh 0,5% dibandingkan bulan yang sama 2018. Padahal angka pertumbuhan untuk periode serupa tahun lalu mencapai 13,3%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, melemahnya pertumbuhan itu menunjukkan tanda memburuknya ekonomi global. "Dampaknya ke penerimaan negara," kata dia dalam konferensi pers Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita di kantornya, Jakarta, Kamis (16/5).
Capaian pendapatan itu mencakup 24,51% terhadap target tahun ini yang sebesar Rp 2.165,1 triliun. Secara rinci, penerimaan pajak pada April 2019 sebesar Rp 387 triliun, atau tumbuh hanya 1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal pertumbuhan dua tahun sebelumnya untuk periode serupa mencapai angka dua digit.
Jumlah penerimaan pajak itu baru mencapai 24,5% dari target APBN 2019. Penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) migas mencapai Rp 22,2 triliun atau tumbuh 5,2% secara tahunan. Angka ini sekitar 33,5% dari target, jauh lebih rendah dibandingkan capaian pada April 2018 sebesar 55,3% dari target.
(Baca: Penerimaan Negara Lesu, Defisit Anggaran April 2019 Capai Rp 101 T)
Sri Mulyani mengatakan, penerimaan migas terkena dampak dari harga minyak dunia yang turun, yaitu US$ 62,44 per barel pada April atau di bawah asumsi awal APBN sebesar US$ 70 per barel. Hal ini juga diperburuk dengan lifting (penyaluran) minyak yang hanya mencapai 735,4 ribu barel per hari hingga April, lebih rendah dari asumsi 775 ribu barel per hari.
"Jadi harga minyak lebih rendah, asumsi minyak kuat, dan lifting rendah. Sektor migas terkena tiga imbas itu sehingga penerimaan sektor migas lebih rendah," ujarnya.
Selain PPh migas, penerimaan pajak juga ditopang oleh pajak non migas sebesar Rp 364,8 triliun atau tumbuh tipis 0,8% dibandingkan tahun lalu periode yang sama. Capaian tersebut sebesar 24,1% dari target.
Sri Mulyani menyoroti penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam komponen pajak non migas tersebut. Sebab, penerimaan PPN mencapai Rp 129,9 triliun atau melambat 4,3%. Angkanya baru mencapai 19,8% dari target sebesar Rp 655,4 triliun.
Menurut dia, perlambatan penerimaan PPN lantaran kebijakan percepatan restitusi atau pengembalian pajak. Namun, kebijakan tersebut memberikan dampak positif terhadap konsumsi masyarakat. "Kami berikan pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha yang reputasinya baik, restitusi tidak ditunda," ujarnya. Percepatan restitusi hingga April tumbuh 34% secara tahunan, menurun dari bulan sebelumnya yang tumbuh 47,83%.
(Baca: Kondisi Global Labil, BI Pangkas Proyeksi Ekonomi RI di Bawah 5,2%)
Sektor yang menyumbangkan pertumbuhan penerimaan pajak adalah jasa keuangan serta transportasi dan pergudangan. Kedua sektor tersebut tidak begitu terpengaruh oleh transaksi ekspor maupun impor yang sedang mengalami pelemahan.
Di luar pajak, penerimaan bea dan cukai mencapai Rp 49,4 triliun atau tumbuh 47% secara tahunan. Secara rinci, penerimaan cukai sebesar Ro 36,2 triliun atau tumbuh 82,3% dibandingkan April 2018.
Kemudian, bea masuk mencapai Rp 11,8 triliun, naik tipis 0,7% dari tahun lalu periode yang sama. Sementara bea keluar mencapai Rp 1,5 triliun, melambat 29,8% secara tahunan. Perlambatan penerimaan bea keluar, kata Sri Mulyani, karena ekspor barang tambang dan harga minyak kelapa sawit menurun. Ini seiring dengan perlambatan ekonomi global.
Di sisi lain, pelemahan harga komoditas membawa pengaruh terhadap pertumbuhan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PNBP mencapai Rp 94 triliun atau melambat 14,8% secara tahunan. Angka tersebut baru mencapai 24,8% dari Undang-Undang APBN 2019.
Pada pendapatan sumber daya alam, realisasinya mencapai Rp 46,2 triliun atau tumbuh 0,6% dibandingkan April 2018. Kemudian, pendapatan kekayaan negara yang dipisahkan belum mencatatkan penerimaan. Sementara itu PNBP lainnya mencapai Rp 34,7 triliun atau melambat 0,2% secara tahunan.
"PNBP mulai berubah (dibandingkan 2018). Saat ini PNBP mengalami tekanan dalam, seperti 2014 dan 2015," ujarnya.
(Baca: BI Ubah Proyeksi Defisit Transaksi Berjalan Lebih Tinggi Hingga 3%)