Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%. Artinya, sudah enam bulan berturut-turut bank sentral tidak mengubah suku bunga acuan tersebut.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan ini sejalan dengan upaya menjaga perekonomian domestik dan mempertahankan daya tarik aset keuangan. "Sejalan juga dengan upaya memperkuat stabilitas eksternal ekonomi Indonesia," katanya dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubenur di kantornya, Jakarta, Kamis (16/5).
Panel Ahli Katadata Insight Center Damhuri Nasution mengatakan bank sentral saat ini belum memiliki cukup ruang untuk menurunkan suku bunga. "Perubahannya jangan ada dulu ya, karena rupiah sedang tertekan," katanya ketika dihubungi kemarin.
Menurut dia, suku bunga tidak akan turun hingga keadaan pasar tenang. “Kecuali sudah ada perbaikan terhadap neraca dagang kita. Sekarang defisitnya sangat besar,” ujar Damhuri.
(Baca: Ekonom Bank Mandiri Proyeksi BI Turunkan Bunga Acuan di Akhir 2019)
Pernyataan senada juga dikatakan ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah. Ia menilai pelemahan rupiah dan defisit neraca dagang yang besar tentu menjadi pertimbangan BI untuk menahan suku bunga.
“Pilihan BI sekarang menahan atau justru menaikkan suku bunga,” katanya. Piter melihat ada kemungkinan BI menaikkan suku bunga acua sebesar 25 basis poin menjadi 6,25%. “Jadi, kalau turun saya rasa tidak mungkin,” ujar Piter.
Neraca Dagang April 2019
Defisit Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis angka neraca dagang RI pada April 2019. Nilai defisitnya mencapai US$ 2,5 miliar atau yang terendah sepanjang sejarah.
Pada Januari-April 2019, BPS melaporkan defisit neraca dagang Indonesia US$ 2,56 miliar. Angka ini juga jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 1,40 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan lonjakan defisit neraca dagang periode ini banyak dipengaruhi oleh situasi global. "Kondisi global tidak mudah, 2019 ini tantangannya akan luar biasa," kata dia dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (15/5).
(Baca: Neraca Dagang April Defisit, Rupiah Diprediksi Melemah hingga Juni)
Ketidakpastian global, menurut dia, turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi sejumlah negara. Seperti, pertumbuhan ekonomi Tiongkok melemah dari 6,8% menjadi 6,24%, kemudian Singapura juga melambat dari 4,7% jadi 1,3% serta Korea Selatan 2,8% menjadi 1,8%.
Hal ini akhirnya turut memengaruhi ekspor Indonesia ke negara tersebut ikut melambat. Selain itu, fluktuasi harga komoditas serta perang dagang di sisi lain juga turut memberikan tekanan terhadap kinerja neraca dagang dalam negeri.