Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan tak khawatir dengan meningkatnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Menurut Darmin, perang dagang antara AS dan Tiongkok memang dapat membuat adanya perlambatan terhadap ekonomi Indonesia. Meski demikian, dia meyakini hal itu tak akan membuat gejolak ekonomi yang cukup signifikan.
"(Situasi perang dagang AS dan Tiongkok) tidak kemudian membuat gejolak yang tajam. Kalau mengkhawatirkan sih tidak," kata Darmin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/5).
Walau begitu, Darmin menilai efek perang dagang antara AS dan Tiongkok tersebut harus segera diantisipasi. Hal tersebut bertujuan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih baik ke depannya.
(Baca: Perang Dagang Kembali Pecah, Tiongkok Tarik Tarif 25% atas Produk AS)
Salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah dengan mendorong lebih banyak investasi di sektor industri dan pariwisata. Darmin menilai dorongan terhadap investasi tak perlu lagi dilakukan secara nasional, melainkan dapat difokuskan kepada daerah-daerah prioritas.
"Kita lihat saja beberapa daerah yang pas untuk mendorong pariwisata, industri, atau agrobisnis," kata Darmin.
Lebih lanjut, Darmin menilai pembahasan terkait revolusi industri 4.0 harus semakin detil. Pemerintah, kata dia, harus bisa menentukan industri apa saja yang akan didorong melalui revolusi industri 4.0. Pemerintah pun harus mampu menentukan berapa jumlah industri yang ingin didorong melalui program tersebut.
Menurut Darmin, sulit untuk bisa menerapkan revolusi industri 4.0 jika masih dalam tataran abstrak. "Kalau kita berharap nasional-nasionalan begitu, abstrak, bisa-bisa kita gak terealisasi," katanya.
(Baca: Tensi Perang Dagang Naik, Rupiah Terus Melemah ke 14.500 per Dolar AS)
Perang Dagang AS-Tiongkok
Meningkatnya tensi perang dagang AS dan Tiongkok kembali menjadi problematika. AS telah menaikkan bea impor produk-produk Tiongkok menjadi 25% dari 10% pada Jumat lalu. Tak berhenti sampai disitu, Tiongkok pun menggencarkan aksi balas dendamnya.
Tiongkok berencana menaikkan bea impor terhadap 5.140 produk AS senilai US$ 60 miliar (sekitar Rp 866 triliun) hingga 25% dari 5%-10% saat ini. Kenaikan tarif ini akan berlaku pada 1 Juni mendatang.
Sejumlah komoditas AS yang terdampak tarif baru Tiongkok di antaranya jenis sayuran beku dan gas alam cair (LNG). Tiongkok mengatakan pihaknya tidak akan pernah menyerah terhadap tekanan eksternal dan menyebut pintu negosiasi selalu terbuka. Namun mereka akan mengutamakan kepentingan nasional.
Dalam komentarnya, televisi pemerintah Tiongkok juga mengatakan pengaruh tarif AS terhadap perekonomian Tiongkok sepenuhnya dapat dikendalikan. Sementara di hari yang sama, Presiden AS Donald Trump mengatakan akan bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada pertemuan puncak G20 bulan depan. "Mungkin sesuatu akan terjadi," kata Trump di Gedung Putih.
(Baca: Diwarnai Sentimen Perang Dagang, IHSG Lanjutkan Tren Koreksi)
Petani AS akan menjadi salah satu pihak yang paling terpukul dari pengenaan tarif Tiongkok, dengan penjualan kedelai ke Tiongkok yang anjlok dan bursa komoditas kedelai AS mencapai level terendah dalam satu dekade. Untuk mengantisipasinya, Trump mengatakan pemerintahannya berencana menyediakan dana sekitar US$ 15 miliar untuk membantu para petani yang produknya kemungkinan menjadi target tarif Tiongkok.
Petani, yang merupakan konstituen politik Partai Republik Trump menuju pemilihan presiden dan kongres 2020, semakin tertekan dengan adanya pembicaraan perdagangan yang berlarut-larut dan kegagalan kesepakatan dagang AS-Tiongkok.
Sementara itu, Kantor Perwakilan Dagang AS juga mengungkapkan bahwa pihaknya berencana mengadakan dengar pendapat publik bulan depan terkait kemungkinan menaikkan bea impor higga 25% senilai US$ 300 miliar untuk produk Tiongkok. Ponsel dan laptop akan masuk dalam daftar tersebut, tetapi obat-obatan akan dikecualikan.
Sengketa dagang AS-Tiongkok yang semakin panas langsung berdampak pada bursa saham dan menyebabkan investor marak melakukan aksi jual dalam sepekan terakhir. Indeks saham global anjlok 1,9% pada hari Senin kemarin, yang merupakan penurunan terbesar dalam lebih dari lima bulan terakhir. Sementara itu, mata uang yuan Tiongkok jatuh ke level terendah sejak Desember dan harga pun minyak merosot.
(Baca: Ancaman Perang Dagang Amerika yang Memicu Resesi Ekonomi Dunia)