Asumsi Makro Meleset, Pemerintah Dinilai Perlu APBN-P

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi uang.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Sorta Tobing
23/4/2019, 11.33 WIB

Sejumlah asumsi makro meleset dari perkiraan semula, seperti asumsi nilai tukar rupiah dan harga minyak Indonesia (ICP). Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai pemerintah perlu melakukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).

Bhima mengatakan, perubahan dua asumsi itu akan berpengaruh ke penerimaan negara. "Dikhawatirkan terjadi shortfall penerimaan tanpa adanya revisi," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (23/4).

Menurut dia, yang paling mendesak direvisi adalah kurs rupiah. Sebab, ia memperkirakan rupiah akan bergerak stabil di bawah asumsi, yaitu Rp 14.000-14.300 per dolar Amerika Serikat (AS). Sementara, harga minyak diperkirakan bergerak mendekati asumsi, US$ 70 per barel.

(Baca: Defisit APBN Melebar, Capai Rp 101,96 Triliun pada Triwulan I 2019)

Pemerintah menetapkan asumsi rupiah dalam APBN 2019 sebesar Rp 15.000 per dolar AS sementara harga minyak U$ 70 per barel. Namun hingga Maret, realisasi nilai tukar mencapai Rp 14.140 per dolar AS (year to date/ytd) atau mengalami penguatan 2,76% terhadap level awal tahun. Sementara, harga minyak mentah Indonesia mencapai US$ 60,49 per barel (ytd).

Dalam Nota Keuangan 2019, fluktuasi rupiah akan memengaruhi anggaran yang menggunakan mata uang dolar AS sebagai komponen penghitungan. Pada sisi pendapatan negara, pergerakan mata uang Garuda akan mempengaruhi penerimaan yang terkait dengan aktivitas perdagangan internasional, seperti PPh pasal 22 impor, PPN dan PPnBM impor, bea masuk, dan bea keluar. Dampaknya juga besar ke penerimaan PPh migas dan penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam (PNBP SDA) migas.

(Baca: Penerimaan Negara Non-Pajak Sektor Minerba Capai 26,8% dari Target)

Pada sisi belanja negara, perubahan rupiah akan berpengaruh terhadap pembayaran bunga utang, subsidi energi, serta dana bagi hasil (DBH) migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Sementara itu pada sisi pembiayaan, fluktuasi nilai tukar rupiah akan berdampak pada pinjaman luar negeri, baik pinjaman tunai maupun pinjaman kegiatan, penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement/SLA), dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.

Asumsi harga minyak mentah berpengaruh pada anggaran yang menggunakan harga itu sebagai komponen penghitungan. Pada sisi pendapatan, pengaruhnya pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. Pada sisi belanja, perubahan harga minyak mentah akan mempengaruhi belanja subsidi energi, DBH migas ke daerah akibat perubahan PNBP SDA migas, serta anggaran pendidikan dan kesehatan.

(Baca: Pertumbuhan Penerimaan Pajak Turun, Ada Potensi Tak Capai Target 2019)

Soal APBNP, Pemerintah Tak Buru-Buru Ambil Keputusan

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan indikator ekonomi makro akan terus diamati setiap bulan. "Dampaknya kepada budget juga kami perhatikan," ujarnya.

Ia memberikan contoh, realisasi ICP yang di bawah asumsi makro akan ditelusuri dampaknya terhadap penerimaan negara yang kemungkinan lebih rendah dari target. Di sisi lain, subsidi energi juga dapat lebih rendah daripada target. "Jadi kami tidak buru-buru ambil keputusan," ujarnya.

(Baca: Jokowi Minta APBN 2020 Jadi Stimulus Ekspor dan Investasi)

Berdasarkan sensitivitas APBN 2019, setiap penguatan rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 100, pendapatan negara akan berkurang Rp 3,9-5,9 triliun. Pada PNBP akan berkurang Rp 2-2,7 triliun.

Sementara, setiap ICP menurun US$ 1 per barel, penerimaan negara dapat berkurang Rp 3,1-4,2 triliun. Belanja negara juga turun Rp 1,7-3,2 triliun.

Reporter: Rizky Alika