Dana Moneter Internasional (IMF) baru saja memangkas pertumbuhan ekonomi global 0,2 poin dari estimasi Januari menjadi 3,3%. Angka itu 0,3 poin lebih rendah daripada realisasi 2018.
IMF melihat momentum pertumbuhan mulai hilang sejak paruh kedua 2018, ketika ekspansi ekonomi dunia melemah secara signifikan. Dalam laporan World Economic Outlook, pertumbuhan global sempat kuat 3,8% di paruh pertama 2018, tetapi turun menjadi 3,2% di semester berikutnya.
Ketegangan perdagangan global telah menimbulkan masalah ke berbagai negara. Misalnya, tekanan ekonomi makro di Argentina dan Turki, gangguan pada sektor otomotif di Jerman, dan pengetatan keuangan terkait normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Tiongkok.
Indonesia tak luput dari tekanan itu. IMF memproyeksikan pertumbuhan Tanah Air 5,2%, sama seperti tahun lalu. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah angka itu tetap sama di 2020. Padahal, proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun tersebut naik jadi 3,6%.
Panel Ahli Katadata Insight Center Damhuri Nasution mengatakan, ekonomi global yang sedang gloomy membuat Indonesia mengalami penurunan investasi dan ekspor tahun ini. Padahal, kedua komponen ini pendorong pertumbuhan ekonomi.
Bila investasi dan ekspor turun, maka dampaknya nilai Produk Domestik Bruto merosot. Target pemerintah untuk mencapai angka pertumbuhan 5,3% di 2019 sulit tercapai. "Kemungkinan pertumbuhan ekonomi 5,1%. Kalau bisa 5,2% saja, itu cukup bagus," kata dia di Jakarta, Kamis (11/4).
Tekanan global dari ketegangan perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok berdampak signifikan ke kinerja ekspor Indonesia. Pemerintah, menurut Damhuri, harus segera memperbaiki kinerja sektor industri dan pertanian kalau tak ingin terkena dampak lebih dalam.
(Baca: Adu Strategi Jokowi vs Prabowo Keluar dari Jebakan Pendapatan Menengah)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, sektor industri memberikan kontribusi terbesar, yaitu 19,28%, terhadap PDB. Kemudian, diikuti oleh sektor perdagangan sebesar 13%, konstruksi 11,11%, dan pertanian sebesar 10,88%.
Setali tiga uang, Panel Ahli Katadata Insight Center Wahyu Prasetyawan menilai Indonesia dinilai sulit untuk mencapai target pertumbuhan 5,3%. "Bukan berarti tidak bisa tercapai. Tapi agak susah kalau terjadi stagnasi di tingkat global," ujarnya.
Penurunan ekonomi global sangat berpengaruh lantaran Indonesia merupakan negara terbuka. Artinya, Indonesia membuka diri terhadap negara lain dalam berbagai aspek, salah satunya kegiatan ekspor-impor. Bila ekonomi global menurun, ekspor ke Tiongkok diperkirakan anjlok.
Wahyu menyarankan, pemerintah meningkatkan konsumsi masyarakat guna menyerap hasil produksi dalam negeri. Hal ini untuk mengantisipasi penurunan ekonomi global tidak akan berdampak ke permintaan produksi. Bila konsumsi domestik meningkat, pertumbuhan pun akan terangkat.
(Baca: ADB: Pertumbuhan Indonesia Didorong Kuatnya Permintaan Domestik)
Terjebak di angka 5%
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, sejak 2013 pertumbuhan ekonomi domestik tak kunjung lewat dari angka 5%. “Ini seperti new normal kalau tidak ada usaha keras pemerintah,” katanya ketika dihubungi hari ini.
Sebenarnya potensi untuk keluar dari angka itu bisa terjadi pada 2015-2017. Ia menghitung angkanya bisa 6,5%-7%. Namun, pemerintah tak tanggap mengambil kesempatan itu. “Hambatannya di produktivitas dan efisiensi,” kata Fithra.
Perekonomian Indonesia, menurut dia, tidak efisien. Defisit neraca perdagangan 2018 merupakan yang terbesar sepanjang sejarah, yaitu US$ 8,57 miliar. Dari sisi produktivitas, saat ini sektor industri mengalami deindustrialisasi. Kontribusi sektor ini terhadap PDB pada tahun lalu di bawah 20% .
Pemerintah, menurut dia, terlalu fokus mengejar infrastruktur. “Tapi pembangunan infrastrukturnya sebatas target akhir, bukan antara,” ujarnya.
Misalnya, membangun jalan tol yang seharusnya untuk transportasi logistik dan turunkan ongkos transportasi. Tapi kenyataannya, jalan itu malah memberi manfaat untuk pengendara mobil pribadi. Pemerintah juga belum fokus mengembangkan infrastruktur berbasis maritim yang lebih efisiensi mengangkut barang dalam volume banyak.
Masalah infrastruktur lainnya, pemerintah jarang melibatkan swasta. Akibatnya, pendanaan dari obligasi pemerintah mengambil porsi 85% di pasar keuangan. Swasta jadi sulit mendapatkan dana segar. Hal ini pula yang membuat industri jadi lesu. “Padahal swasta agen sektor riil,” ujarnya.
(Baca: IMF Perkirakan Defisit Transaksi Berjalan Indonesia 2,7% Tahun Ini)
Dengan semua kondisi tersebut, langkah paling cepat untuk memperbaikinya adalah pemotongan pajak dan penurunan kebutuhan pokok untuk mendorong konsumsi masyarakat.
Pemerintah juga perlu mencari pasar ekspor nontradisional. Di saat AS dan Tiongkok sedang adu kuat, pemerintah bisa melakukan ekspansi ke negara-negara berkembang yang sedang bergeliat, seperti Bangladesh, Ethiopia, dan negara Afrika lainnya.
Potensi lain yang perlu mendapat fokus pemerintah adalah sektor digital. “Pemerintah masih gagap,” katanya. Ia memberi contoh ketika e-commerce mau dipajaki, namun dibatalkan di tengah jalan. Padahal, kalau pemerintah serius, maka harus membuat kebijakan yang membangun pertumbuhan sektor tersebut.
(Baca: Banyak Salah Kaprah, Sri Mulyani Tarik Aturan Pajak untuk E-Commerce)
Tahun depan, ia melihat akan terjadi resesi di AS. Hal ini terlihat dari inversi obligasi pemerintah di sana serta konvergensi utang jangka panjang dan pendeknya yang akan jatuh tempo pada 2019 dan 2020. “Terakhir mereka mengalami indikator serupa pada 1929 ketika depresi besar terjadi,” ujar Fithra.
Indonesia akan mengalami dampak dari kondisi itu, seperti turunnya nilai rupiah dan naiknya harga komoditas. Tapi, menurut dia, hal itu tak seberapa dibandingkan dengan masalah ekonomi dalam negeri. Karena itu, pemerintah harus mulai memperbaiki defisit dan sektor industri.