Pemilu akan Sumbang Pertumbuhan Ekonomi 0,3%

ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI
Sejumlah pedagang mainan balon berada dekat Alat Peraga Kampanye (APK) Calon Legislatif (Caleg) yang terpasang di bangunan kawasan kota tua Ampenan, Mataram, NTB, Senin (11/2/2019). Menjelang Pemilu 2019 sejumlah APK Caleg dan partai politik makin marak terpasang di tempat umum dan jalan-jalan protokol kota Mataram yang membuat keindahan kota menjadi berkurang.
Penulis: Happy Fajrian
24/3/2019, 12.47 WIB

Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto meyakini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa mencapai 5,2%. Salah satu faktor pendorongnya yaitu gelaran pesta demokrasi pemilihan umum presiden dan wakil presiden, serta pemilihan umum anggota legislatif.

Ryan mengatakan, kondisi perekonomian Indonesia di dua bulan pertama 2019 ini telah mengalami peningkatan. Hal tersebut terlihat dari angka purchasing manager's index (PMI) manufaktur periode Februari 2019 yang berada pada level 50,1 atau naik dari 49,9 pada periode Januari 2019.

"Indeks PMI di bawah 50 itu artinya terjadi kontraksi, indeks di atas 50 itu ekspansi. Di Januari terjadi kontraksi, namun di Februari sudah ekspansi kembali, tapi masih tipis. Adanya pemilu justru sedikit memberikan stimulus untuk pertumbuhan," kata Ryan di acara pelatihan wartawan ekonomi dan moneter Bank Indonesia (BI), di Yogyakarta, Sabtu (23/3).

Ryan mencontohkan kondisi perekonomian pada masa pemilu 2009 dan 2014. Kegiatan politik pada dua pemilu tersebut menyumbang pertumbuhan ekonomi sekitar 0,2-0,3% yang didorong oleh political spending seperti seperti kampanye, pembuatan kaos, jaket, umbul-umbul dan sebagainya.

(Baca: Ditopang Bansos, BI Hitung Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I 2019 di 5,2%)

Dukungan Kebijakan BI

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tahun ini, Bank Indonesia (BI) menyatakan akan menerapkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif (pro pertumbuhan), salah satunya dengan melonggarkan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) untuk mendorong perbankan agar lebih ekspansif dalam mengucurkan kredit.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Kamis (21/3) memutuskan RIM yang sebelumnya berada di kisaran 80-92% dinaikkan menjadi 84-94%, dan mulai berlaku pada 1 Juli 2019. Harapannya, dengan dilonggarkannya RIM, BI ingin memastikan pertumbuhan kredit perbankan tahun ini bisa lebih mendekati angka 12% dari target pertumbuhan kredit antara 10-12%.

"Kita ingin memastikan rentang pertumbuhan kredit 10-12% biasnya ke atas. Kita ingin jaga harapannya sejak awal tahun. Dengan direlaksasi dari sekarang, bank bisa ekspansi kredit dari awal tahun," kata Deputi Gubernur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Ita Rulina.

Sebelumnya, BI mencatat ada 56 bank yang telah melampaui batas atas RIM sebesar 52%, kemudian 37 bank mematuhi batas RIM 80-92%, dan 21 bank penyaluran kreditnya masih di bawah batas RIM 80%. Padahal menurut Ita, perbankan memiliki likuiditas yang memadai untuk menyalurkan kredit, namun, banyak bank yang terlalu berhati-hati dalam menyalurkan kredit sehingga ekses likuiditas meningkat.

Parameter kesehatan likuiditas yang digunakan BI yaitu Alat Likuid per DPK atau AL-DPK yang naik menjadi 20,25% per Januari 2019 dari 19% per Desember 2018. “Karena tidak mudah juga bank langsung untuk cairkan kredit. Maka dengan dilonggarkannya RIM, kita ingin perkuat sinyal ke perbankan untuk dorong kredit,” kata Ita.

(Baca: Demi Memacu Kredit, BI Naikkan Batas Rasio Intermediasi Hingga 94%)

Reporter: Happy Fajrian