Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kondisi ekonomi Indonesia tidak akan terganggu jelang pemilihan umum (pemilu) serentak. Hal ini ia katakan di depan para penerbit surat utang (issuer) yang hadir dalam acara lembaga pemeringkat Fitch Rating.
“Pemilu tidak akan menjadi halangan untuk memperkuat ekonomi Indonesia,” kata Sri Mulyani. Ia menjelaskan, kondisi politik semakin terbuka sejak era Reformasi 1998. Selain itu, berkaca pada pemilu sebelumnya, kondisi ekonomi pun cenderung stabil.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu memastikan, penyelenggaraan pemilu pada April 2019 nanti tak akan jauh berbeda dengan sebelumnya. Perbedaannya hanya pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif diselenggarakan secara bersamaan. “Dari sisi politik, hal ini dapat meningkatkan efisiensi waktu,” katanya.
(Baca: Debat Cawapres Tak Berpengaruh, IHSG Dibuka Positif )
Menurut dia, sistem demokrasi dapat membuat kehidupan politik menjadi lebih lagi. Karena itu, ia meyakinkan kepada para issuer yang hadir agar tidak perlu khawatir dengan cara pemerintah mengelola pemilu.
Tantangan yang akan dihadapi Indonesia ke depan, ia mengatakan, tidak jauh beda dengan tahun lalu. Normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat dan perlambatan ekonomi Tiongkok akan berpengaruh ke negara ini. Kelanjutan perang dagang juga menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia.
(Baca: Moody's Prediksi Pertumbuhan Ekonomi RI di Bawah 5% pada 2019 dan 2020)
Fitch Ratings sebelumnya mempertahankan peringkat utang atau kredit pemerintah pada level BBB dengan outlook stabil. Pemberian rating ini berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan beban utang pemerintah yang relative rendah.
Capaian ini terjadi karena Indonesia diuntungkan dengan sikap bank sentral AS, The Fed, yang cenderung konservatif. Namun, Fitch memberi catatan soal ketergantungan pemerintah terhadap aliran dana asing ke portofolio saham dan obligasi.
Dana asing tersebut cenderung mudah keluar-masuk. Lembaga pemeringkat asal AS itu mencatat, sekitar 37% surat utang pemerintah berdenominasi rupiah dipegang investor asing. Namun, investasi asing langsung yang berjangka panjang hanya sebesar US$ 22 miliar (Rp 312,1 triliun) atau 2,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).