Nilai tukar rupiah kembali melemah pada pada level Rp 14.143 terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan di pasar spot, Selasa (5/3) siang ini. Penurunan ini bersamaan dengan sejumlah mata uang Asia lainnya.
Mengacu pada data Bloomberg, pelemahan terbesar terjadi pada peso Filipina sebesar 0,79% dan diikuti oleh rupiah sebesar 0,10%. Kemudian, mata uang lainnya juga melemah tipis.
Baht Thailand sebesar 0,07%, won Korea 0,04%, dolar Taiwan 0,03%, dan ringgit Malaysia 0,01%. Sementara, yuan Tiongkok dan rupee India mengalami penguatan masing-masing 0,07% dan 0,19%.
Pelemahan terjadi seiring penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia. Hal ini tercermin dari indeks dolar AS (DXY) yang terus naik tipis dalam lima hari terakhir dari 96 menjadi level 96,72.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pelemahan rupiah didorong oleh faktor domestik. Menurut dia, investor mulai lakukan evaluasi emiten saham seiring rilis laporan keuangan.
"Beberapa perusahaan, khususnya yang berada di consumer goods atau FMCG (Fast-Moving Consumer Goods) kinerjanya over value," kata dia ketika dihubungi Katadata.co.id.
(Baca: Bankir dan Ekonom Peringatkan Rupiah Melemah Jelang Musim Bagi Dividen)
Ia mencontohkan, emiten PT Hero Supermarket Tbk mencatat kerugian Rp 1,25 triliun pada 2018. Hal ini mendorong aksi jual bersih (net sell) di saham sebesar Rp 2,57 triliun dalam sepekan terakhir.
Faktor global turut memengaruhi pergerakan rupiah. Dari Negeri Paman Sam, data ISM Manufacturing Index menunjukkan penurunan manufaktur terendah sejak November 2016. Di sisi lain, data Departemen Perdagangan AS menunjukkan tingkat inflasi dan pendapatan rumah tangga yang anjlok untuk pertama kalinya sejak 3 tahun terakhir.
Selain itu, data ekonomi Tiongkok juga memengaruhi pergerakan rupiah. Sebagai informasi, Tiongkok baru saja merevisi target pertumbuhan ekonomi menjadi 6-6,5% dibanding sebelumnya sebesar 6,5%. Angka ini juga lebih rendah dari capaian ekonomi tahun lalu sebesar 6,6%.
Di sisi lain, defisit anggaran juga diperkirakan melebar menjadi 2,8% atau melebar dibandingkan capaian 2018 sebesar 2,6%. Seiring dengan hal tersebut pemerintah Tiongkok menargetkan penerimaan pajak yang lebih rendah.