Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 6% pada Februari ini. Keputusan tersebut sering dengan kondisi global dan domestik yang relatif terjaga. Dengan demikian, BI telah mempertahankan bunga acuan di level tersebut dalam tiga bulan berturut-turut. Lalu adakah peluang bunga acuan turun?
Sebelumnya, harapan agar bunga acuan BI turun sempat disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Penurunan bunga acuan dianggap sebagai salah satu cara mendorong investasi dan menggairahkan ekonomi. Namun, BI tampaknya enggan terburu-buru mengambil langkah tersebut, lantaran kebijakan moneter masih diarahkan untuk menjaga stabilitas eksternal atau stabilitas nilai tukar rupiah.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan sikap (stance) kebijakan BI tetap konsisten dalam memperkuat stabilitas eksternal. "Khususnya mengendalikan defisit transaksi berjalan aman dan memberikan daya tarik pasar keuangan domestik," kata dia dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur di kantornya, Jakarta, Kamis (21/2).
(Baca: Dorong Investasi, JK Minta Bank Indonesia Turunkan Lagi Suku Bunga )
Dia menjelaskan, secara riil maupun bila dibandingkan dengan negara lain, posisi bunga acuan saat ini masih menarik. Dengan bunga acuan yang menarik, BI berharap dana asing masih akan terus masuk sehingga bisa menambal bila masih terjadi defisit transaksi berjalan sehingga menyokong stabilitas nilai tukar rupiah.
Ke depan, Perry menyatakan, pihaknya masih akan melihat perkembangan di dalam dan luar negeri untuk menentukan kebijakan bunga acuan. Dari luar negeri, salah satu yang masih diwaspadai BI yakni kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed).
Kebijakan moneter The Fed diperkirakan lebih konservatif. Bunga acuannya diperkirakan hanya akan naik satu kali, dari perkiraan sebelumnya tiga kali. Namun, The Fed diprediksi akan menyesuaikan neraca keuangannya (balance sheet). "Arah kebijakan Fed memang lebih rendah (kenaikan bunga acuan), tapi reduction-nya sudah melakukan pengetatan moneter," ujarnya.
(Baca: Tahan Bunga Acuan 6%, BI Paparkan Strategi Dorong Pembiayaan Ekonomi)
Adapun Ekonom yang juga panel ahli Katadata Insight Center (KIC) Damhuri Nasution mengatakan bunga acuan BI bisa diturunkan bila ancaman terhadap gejolak nilai tukar rupiah sudah relatif kecil. Ancaman ini bukan hanya melulu soal bunga acuan AS. "Misalnya bila perundingan dagang antara AS-Tiongkok sudah mengarah ke hasil yang positif," katanya.
Namun, ia menjelaskan, perundingan dagang antara AS dan Tiongkok masih berlangsung dan belum menunjukkan arah positif. Meskipun, ia melihat adanya peluang besar perundingan berbuah positif. Jika tidak, mata uang dunia berisiko kembali mengalami volatilitas termasuk rupiah.
Selain itu, bunga acuan dapat diturunkan bila defisit transaksi berjalan dapat diyakini di bawah batas aman 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit transaksi berjalan tercatat telah tiga kuartal berturut-turut menembus 3% PDB sehingga secara keseluruhan tahun lalu defisit mencapai 2,98% PDB.
Namun, ia melihat defisit transaksi berjalan masih akan berada dalam posisi yang mengkhawatirkan. Sebab, data neraca perdagangan barang masih cukup besar, yaitu US$ 1,16 miliar pada Januari 2019, melebar dibandingkan periode Desember 2018 sebesar US$ 1,03 miliar.
(Baca: BI: Dampak Kenaikan Bunga ke Pertumbuhan Ekonomi Baru pada 2020)
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga menilai usulan penurunan bunga acuan yang sempat disuarakan Jusuf Kalla sebagai usulan yang tidak tepat diterapkan sekarang. Sebab, kondisi ketidakpastian global masih tinggi. "Kondisi global masih banyak uncertainty," kata dia.
Bila kembali terjadi gejolak di global, investor global akan menghindari negara dengan defisit transaksi berjalan yang besar. Saat hal tersebut terjadi, Indonesia berpotensi kembali terpukul lantaran tidak diminati oleh investor asing.
Maka itu, ia menilai pemerintah dan BI perlu fokus menurunkan defisit transaksi berjalan dibandingkan melonggarkan kebijakan moneter.