Kondisi global belum fit benar. Beberapa lembaga keuangan internasional pun memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. IMF, misalnya, hanya menaruh angka 3,5 persen dari sebelumnya 3,7 persen. Akibatnya, permintaan dunia akan sejumlah komoditas menurun. Ekspor Indonesia ikut terpukul.

Dampak penurunan ekspor ini terlihat pada neraca perdagangan Januari kemarin. Bahkan beberapa ekonom meramal akan berlanjut setidaknya hingga kuartal pertama 2019. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal memperkirakan defisit neraca dagang pada triwulan pertama mencapai US$ 3 miliar.

Menurut dia, perlambatan permintaan eksporlah yang menjadi pangkal utama. “Beberapa bulan ke depan masih defisit. Selama triwulan satu sekitar US$ 3 miliar,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Jumat (15/2). Menurutnya, perlambatan permintaan terjadi pada mitra utama Indonesia selain Tiongkok.

(Baca: Darmin Nilai Defisit Dagang RI Membengkak karena Pelemahan Tiongkok)

Di sisi lain, kebijakan pemerintah dinilai belum memberikan efek besar. Implementasi program biodiesel 20 % (B20) masih terkendala. Akibatnya, efek kebijakan tersebut belum berdampak secara signifikan, terutama dalam waktu dekat.

Sementara itu, kenaian tarif pajak penghasilan (PPh) impor barang konsumsi sebenarnya telah menunjukkan efek pada berkurangnya barang-barang dari luar negeri. Namun, penurunan tersebut masih relatif kecil lantaran porsi barang konsumsi terhadap total impor hanya 10 %. “Tapi kebijakan itu memang juga perlu dievaluasi lagi untuk mencari titik lemahnya,” ujarnya.

Adapun Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani memperkirakan pertumbuhan ekspor non-migas tetap positif. Walaupun tidak akan maksimal selama perang dagang Amerika Serikat dan Cina masih berlangsung.

Untuk itu, pemerintah semestinya memberikan dukungan agar bisnis dalam negeri dapat berkompetisi di level global. Sebab, perang dagang dapat membuat persaingan dagang menjadi lebih ketat.

(Baca: Defisit Neraca Dagang Berlanjut, Kurs Rupiah Melemah Jadi 14.100/US$)

Namun, ia menilai kebijakan pemerintah saat ini sudah baik karena ada efisiensi regulasi bagi pebisnis dalam negeri. Adapun biaya pengaturan yang dianggap paling membebani ialah pengembangan ekspor dan industri.

Sementara untuk sektor pertanian pertumbuhan produktivitasnya masih stagnan dan cenderung turun. Kemudian, dukungan industri pengolahan pertanian dinilai sulit serta bergantung pada pasar impor.

Apabila ingin meningkatkan industri pengolahan pertanian, pemerintah perlu meningkatkan produktivitas dan output sektor tersebut. “Sehingga ketika tidak bisa impor pun industri bisa survive dan tetap bertumbuh,” kata dia.

Ia pun mengingatkan, ekonomi Indonesia sangat rentan dengan gejolak ekonomi global. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi dan insutri sulit meningkat bila kondisi eksternal masih lesu karena ketidakpastian perang dagang.

(Baca: Ekonomi Global Melambat, Neraca Dagang Januari 2019 Defisit US$ 1,16 M)

Neraca Perdagangan Indonesia pada Januari 2019 Defisit US$ 1,16 Miliar

Indonesia mengawali 2019 dengan rapor merah kinerja neraca perdagangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan, pada Januari 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 1,16 miliar, melebar dari realisasi defisit perdagangan periode Desember 2018 sebesar US$ 1,03 miliar. Angka tersebut lebih besar dibanding defisit Januari 2018 yang tercatat US$ 760 juta.

Kepala BPS Suhariyanto menyatakan perlambatan perekonomian global serta fluktuasi harga komoditas menjadi salah satu penyebab melebarnya angka defisit perdagangan Januari 2019. “Banyak hal yang menjadi tantangan perdagangan tahun ini,” kata Suhariyanto di Jakarta, Jumat (15/2).

Secara sektoral, BPS mencatat defisit perdagangan Januari lebih banyak disumbang oleh nonmigas US$ 704,7 juta, lebih tinggi daripada defisit migas yang hanya US$ 454,8 juta. Adapun dalam komponen migas, defisit minyak mentah periode lalu US$ 383,6 juta serta defisit hasil minyak US$ 981,1 juta. Hanya gas yang surplus sebesar US$ 909,9 juta.

(Baca: Defisit Transaksi Berjalan Kuartal IV US$ 9,1 M, Terburuk Sejak 2013)

Di samping itu, lemahnya kinerja ekspor juga menjadi faktor penyebab melebarnya neraca dagang pada Januari 2019, padahal di sisi lain nilai impor turun. Total ekspor pada Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar, turun 3,24 % dibanding periode Desember 2018 sebesar US$ 14,33 miliar. Sedangkan dibanding Januari 2018 yang mencapai US$ 14,55 miliar, turun 4,70 %.