Badan Pusat Statistik (BPS) melansir produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp 14.837,4 triliun dan PDB per kapita sebesar Rp 56 juta atau US$ 3.927. Bila mengacu klasifikasi Bank Dunia (World Bank), maka Indonesia telah naik level dari negara berpendapatan menengah bawah menjadi negara pendapatan menengah atas.

Dalam klasifikasi terbaru Bank Dunia, suatu negara masuk kategori pendapatan bawah (low income) bila pendapatan per kapita di bawah US$ 955, lalu masuk kategori berpendapatan menengah bawah (lower-middle income) bila pendapatan per kapita berkisar US$ 955-US$ 3.895.

Kemudian, negara masuk kategori pendapatan menengah atas (upper-middle income) bila berpendapatan per kapita antara US$ 3.896-US$ 12.055. Terakhir, suatu negara masuk kategori berpendapatan tinggi (high income) bila pendapatan per kapita di atas US$ 12.055.

Meskipun, Bank Dunia menggunakan konsep pendapatan nasional bruto (PNB) atau Gross National Income (GNI) untuk perhitungan pendapatan per kapita. Mengacu pada BPS, PNB adalah PDB ditambah dengan pendapatan neto dari luar negeri.

Meski ada perbaikan, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai Indonesia masih tegolong medioker. Sebab, Indonesia belum sampai setengah jalan untuk bisa menjadi negara berpendapatan tinggi atau negara maju.

(Baca: Kinerja Ekspor Lemah, Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi Tertinggi 5,17%)

Adapun pemerintah membidik Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045. Pieter menjelaskan, Indonesia perlu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Bila hanya di kisaran 5% seperti sekarang ini, maka dapat dipastikan Indonesia akan masuk jebakan pendapatan menengah (middle income trap).

“Untuk keluar dari jebakan ini pertumbuhan 5% tidak cukup,” kata dia kepada katadata.co.id, Rabu (6/2).

Bila mengutip naskah pidato Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam pertemuan tahunan, November 2018 lalu, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mengalami akselerasi dari kisaran 5-5,4% pada 2019 menjadi 5,5-6,1% pada 2024.

Akselerasi pertumbuhan ekonomi dimungkinkan seiring percepatan pembangunan infrastruktur dan kebijakan deregulasi. “Percepatan pembangunan infrastruktur dan serangkaian kebijakan deregulasi yang ditempuh selama ini akan meningkatkan produktivitas perekonomian ke depan,” demikian tertulis.

(Baca: Pembangunan Infrastruktur Masif, Akankah Dongkrak Ekonomi?)

Selain itu, akselerasi pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh reformasi struktural yang fokus pada peningkatan daya saing terutama Sumber Daya Manusia (SDM), peningkatan kapasitas dan kapabilitas industri untuk ekspor, dan pemanfaatan ekonomi digital.

Namun, dengan akselerasi pertumbuhan tersebut, BI memperkirakan pendapatan per kapita baru mencapai US$ 4.800 pada 2024. Ini artinya, pada tahun tersebut, Indoensia masih belum juga setengah jalan menuju negara berpendapatan tinggi.

(Baca: Manufaktur Sebagai Sektor Ekonomi Utama Tumbuh Stagnan Tiga Tahun Ini)

Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengatakan ada empat kunci agar lolos dari jebakan pendapatan kelas menengah yaitu, peningkatan kualitas SDM, pembangunan infrastruktur, birokrasi pemerintah yang efisien dan kompeten, dan kebijakan yang tepat agar berdaya tahan terhadap gejolak perekonomian global.  

Reporter: Rizky Alika