Nilai tukar rupiah berbalik melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada awal pekan ini, setelah menguat tajam dua hari berturut-turut menjelang akhir pekan lalu. Rupiah nyaris kembali ke level 14.000 per dolar AS.
Saat berita ini ditulis pada Senin (4/2) siang, rupiah berada di level 13.994 per dolar AS atau melemah 0,33% dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya. Pelemahan juga dialami mayoritas mata uang Asia lainnya. Yuan Tiongkok melemah paling tajam 0,69%, diikuti rupee India 0,60%, dolar Taiwan dan dolar Singapura masing-masing 0,21%, lalu won Korea Selatan dan peso Filipina masing-masing 0,19%.
Baht Thailand dan yen Jepang juga melemah, meski tipis yaitu masing-masing 0,10 dan 0,11%. Di sisi lain, ringgit Malaysia dan dolar Hong Kong menguat tipis kurang dari 0,10%.
Dengan perkembangan ini, posisi rupiah sebagai mata uang dengan penguatan paling besar sepanjang tahun ini (year to date) tergeser oleh baht Thailand. Rupiah tercatat menguat 2,75%, sedangkan baht Thailand 3,05%.
(Baca: Rupiah Tembus Level 13.000/US$, Darmin Menilai Masih Terlalu Murah)
Meski begitu, sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut rupiah yang di level 13.900 per dolar AS ini masih terlalu murah alias undervalued. Ini artinya, ia melihat potensi penguatan lebih lanjut rupiah. Namun, hal itu masih bergantung pada perkembangan kondisi ekonomi global maupun domestik.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam juga melihat masih adanya kecenderungan penguatan dolar AS. Hal ini didukung sentimen positif investor terhadap pasar keuangan domestik. Alhasil, aliran masuk dana asing terus berlanjut sehingga menambah pasokan dolar AS di dalam negeri.
“Investor asing tampaknya masih lebih memilih menempatkan dananya di pasar keuangan indonesia yang menawarkan return yang menarik dan harga yang masih relatif murah di tengah pelemahan ekonomi global,” kata dia, pekan lalu.
(Baca: Rupiah Perkasa, Investor Asing Buru Aset Keuangan Indonesia)
Ia memperkirakan kondisi ini akan berlangsung selama tidak ada perkembangan baru yang secara signifikan memunculkan harapan perbaikan ekonomi global sehingga investor asing tergerak memindahkan kembali investasinya ke negara maju.
Adapun perkembangan global yang banyak ditunggu pada Maret ini yakni hasil negosiasi dagang AS-Tiongkok. Perang dagang antarkedua negara telah berdampak pada melambatnya ekonomi Tiongkok pada tahun lalu. Hal ini menambah kekhawatiran akan melemahnya ekonomi global.