Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerka Serikat (AS) cenderung menguat sejak awal tahun lalu hingga saat ini bergerak di rentang Rp 14.000-14.200. Namun, Ekonom Senior Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra memperkirakan nilai tukar rupiah akan mengalami tekanan setelah triwulan I. Hal itu imbas faktor global dan domestik.
Ia memperkirakan rupiah bisa menyentuh level 13.800 per dolar AS pada triwulan I 2019. Namun, rupiah secara perlahan akan bergerak ke arah 14.000 per dolar AS hingga mencapai Rp 14.600 per dolar AS. Adapun penguatan nilai tukar rupiah di triwulan I imbas proyeksi bahwa bunga acuan AS tidak akan naik secara agresif seperti tahun lalu.
"Dia (The Fed) membuat sentimen emerging market lebih baik makanya rupiah menguat," kata dia dalam acara Global Research Briefing Standard Chartered di Jakarta, Kamis (24/1). Namun, kenaikan bunga acuan The Fed tetap akan memicu pergerakan di pasar keuangan yang berdampak pada nilai tukar rupiah. Maka itu, ada risiko pelemahan kurs setelah triwulan I.
(Baca: Dana Asing Keluar Rp 6 T dari SBN, Ekonom Duga Trader Ambil Untung)
Ia menjelaskan, pada tahun lalu, empat kali kenaikan bunga acuan The Fed memicu arus keluar dana asing dari pasar keuangan domestik yang berimbas pada penurunan pasokan dolar di dalam negeri. Alhasil, rupiah melemah. Rupiah tercatat sempat menembus Rp 15.200 per dolar AS pada Oktober tahun lalu, sebelum berangsur menguat.
Selain faktor global, ia menjelaskan proyeksi soal menguatnya tekanan rupiah juga dengan mempertimbangkan faktor domestik, yaitu defisit transaksi berjalan. Ia memperkirakan defisit mencapai 2,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Lebarnya defisit transaksi berjalan diperkirakan karena produksi pada sektor pertambangan diperkirakan menurun.
Adapun kondisi defisit pada transaksi berjalan menunjukkan bahwa pasokan dolar dari ekspor barang dan jasa tak mampu menutup kebutuhan dolar untuk impornya. Maka itu, ini bisa turut menekan nilai tukar rupiah. Lebarnya defisit transaksi berjalan juga bisa menjadi sentimen negatif yang memperbesar risiko arus keluar dana asing sehingga menambah tekanan terhadap rupiah.
(Baca juga: BI Isyaratkan Ada Ruang Penguatan Kurs Rupiah Kembali ke Posisi 13.500)
Namun, ia melihat masih adanya prospek positif bagi neraca transaksi berjalan. Hal itu lantaran adanya kebijakan pengendalian impor dan peningkatan ekspor yang dilakukan pemerintah.
Kebijakan pengendalian impor berupa kewaiban pencampuran minyak sawit 20% ke dalam solar atau biodiesel 20% (B20) diperkirakan dapat mengurangi impor bahan bakar minyak sebesar US$ 4 miliar. Kemudian, kenaikan pajak impor barang konsumsi bisa menekan impor konsumsi sebesar 2% atau setara US$ 3 miliar.
Di sisi lain, peningkatan ekspor kelapa sawit diperkirakan dapat meningkatkan ekspor sebesar US$ 3 miliar. Hal ini dapat memberikan dampak positif pada nilai tukar rupiah.