Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 8,8 miliar atau 3,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal IV tahun lalu. Ini artinya, defisit berada di atas batas aman dalam tiga kuartal berturut-turut. Namun, Gubernur BI optimistis defisit bakal mereda mulai awal tahun ini.

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan melebarnya defisit transaksi berjalan tahun lalu seiring dengan membesarnya impor untuk proyek infrastruktur dan energi. "Itu terkait sejumlah proyek pada tahun lalu yang perlu impor tinggi, sehingga tahun ini kemungkinan tidak berulang," kata dia dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur di kantornya, Jakarta, Kamis (17/1).

BI memperkirakan defisit transaksi berjalan bakal turun ke level 2,5% PDB untuk keseluruhan tahun ini, dan akan mulai terlihat di kuartal I. Selain karena impor untuk proyek infrastruktur yang diperkirakan tidak akan sebesar tahun lalu, juga karena beberapa kebijakan pemerintah di antaranya pengembangan sektor pariwisata.

(Baca: Pemerintah Prediksikan Pertumbuhan Impor 2019 Hanya Separuh Tahun lalu)

Selain itu, ada juga sokongan dari kewajban pencampuran minyak sawit ke dalam solar sebanyak 20% atau biodiesel 20% (B20). Pertengahan tahun lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sempat menyebut adanya potensi penghematan devisa untuk impor devisa dapat mencapai US$ 5,5 miliar dalam setahun.

Dalam paparannya di Komisi XI DPR beberapa waktu lalu, pemerintah juga memperkirakan pertumbuhan impor tahun ini tidak akan seagresif tahun lalu. Prediksinya, impor hanya akan tumbuh 7,1% atau nyaris separuh dari tahun lalu yang diproyeksikan sebesar 13,4%. Meski begitu, pertumbuhan ekspor diperkirakan belum melampaui impor.

Ekspor diperkirakan akan tumbuh 6,3% tahun ini, meningkat dibandingkan tahun lalu sebesar 6,2%. Meskipun, tantangan global masih membayangi proyeksi tersebut, di antaranya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang membuat perdagangan global melambat.