Pemerintah tengah mengakaji penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari saat ini sebesar 25% dari penghasilan kena pajak. Para pengamat pajak menyarankan penurunan PPh badan dilakukan secara bertahap.
Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan penurunan bertahap sebagai bentuk kehati-hatian. "Harus hati-hati formulasi dan implementasinya karena sekali (tarifnya) turun, sulit naik lagi," kata dia kepada katadata.co.id, Rabu (9/1).
Menurut dia, penurunan tarif PPh badan memang penting agar Indonesia tetap kompetitif dibandingkan dengan negara lain dalam menarik investasi. Selain itu, penurunan tarif PPh merupakan janji pemerintah sebelum amnesti pajak.
(Baca: Kadin Usul Penurunan Tarif PPh Korporasi yang Serap Banyak Pekerja)
Penurunan tarif PPh juga diyakini bisa memperluas basis pajak. Namun, pemerintah perlu memastikan hal itu benar-benar terjadi dengan meningkatkan sistem administrasi pajak dan kapasitas Direktorat Jenderal Pajak.
"Kalau sistem bagus kan bisa capture potensi lain," ujarnya. Dengan sistem yang baik, upaya-upaya mengecilkan laba untuk mengurangi beban pajak juga bisa dicegah.
Dengan begitu, meskipun penerimaan bisa mengalami penurunan dalam jangka pendek imbas penurunan PPh, namun akan kembali naik dalam jangka menengah-panjang.
(Baca: Penerimaan Pajak dari Empat Sektor Industri Utama Tumbuh Melambat)
Penurunan tarif PPh badan memang tidak selalu diikuti dengan kenaikan penerimaan pajak. Berdasarkan data CITA, PPh badan di Thailand sebesar 30% pada 2011, kemudian turun menjadi 23% pada 2012. Namun, rasio pajaknya justru mengalami penurunan sebesar 1,1%.
Di sisi lain, PPh badan Tiongkok sebesar 33% pada 2007, lalu turun menjadi 25% pada 2008. Seiring dengan kebijakan tersebut, rasio pajak Tiongkok naik sebesar 0,4%.
Di Indonesia, tarif PPh badan pada 2008 ditetapkan sebesar 30%, lalu turun bertahap hingga menjadi 25% mulai 2010. Dalam kurun waktu tersebut, rasio pajak justru mengalami penurunan 2,1%.
(Baca: Berat, Penerimaan Pajak Harus Tumbuh Nyaris 20% Buat Capai Target 2019)
Penurunan tersebut diduga karena sistem adminstrasi yang buruk, kesadaran wajib pajak rendah, serta investasi baru yang tidak signifikan. "Itu yang perlu dipikirkan pemerintah dan DPR, cari penyebabnya," ujar dia.
Pengamat Pajak DDTC Darussalam juga menilai penurunan tarif PPh bisa dilakukan secara bertahap. Sementara untuk tarifnya, ia mengusulkan agar mengacu pada Thailand atau Malaysia, bukan Singapura. Sekarang ini, Malaysia mengenakan tarif sebesar 24%, Thailand 20%, sedangkan Singapura 17%.
"Tarif yang ideal untuk diturunkan tidak boleh (mengacu dari) Singapura karena Singapura adalah negara yang dikategorikan sebagai preferential tax regime," ujarnya. Preferential tax regime merupakan negara yang banyak memberikan fasilitas pajak sehingga basis pajak dapat semakin luas.
(Baca: Data Keuangan Nasabah Jadi Andalan Buat Capai Target Pajak 2019)
Senada dengan Prastowo, ia juga menekankan pentingnya pemerintah memastikan terjadinya perluasan atau ekstensifikasi pajak. "(Ini bisa dilakukan dengan) edukasi, sosialisasi, big data, dan penegakan hukum," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah memang tengah mengkaji penurunan tarif PPh badan. "Komparasinya dengan negara sekitar dan negara emerging market lain," ujarnya.
Namun, ia menjelaskan penurunan tarif tersebut bukan hal yang mudah. Sebab, hal ini memerlukan perubahan undang-undang sehingga harus melalui proses legislatif.