Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat sejak awal tahun ini. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo melihat potensi penguatan rupiah dapat terus berlanjut karena ditopang oleh empat faktor.
Berdasarkan data Bloomberg, kurs rupiah pada perdagangan di pasar spot, Selasa ini (8/1), mencapai 14.066 per dolar AS atau menguat 0,11% dibandingkan hari sebelumnya. Bahkan, pada perdagangan kemarin, kurs rupiah secara intraday sempat menyentuh level 13.990 per dolar AS. Jika dihitung sejak awal 2019 ini, rupiah sudah menguat 2,22% terhadap the Greenback.
Meski begitu, Perry melihat kurs rupiah masih berpotensi menguat dan bergerak stabil sesuai dengan nilai fundamentalnya. "Rupiah saat ini masih undervalue," katanya dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa di Gedung BI, Jakarta, Senin malam (7/1).
(Baca juga: Menguat Paling Tajam di Asia, Kurs Rupiah Mendekati Level 13.000/US$)
Selain belum mencapai nilai fundamentalnya, menurut Perry, potensi penguatan rupiah ditopang oleh setidaknya empat faktor. Pertama, faktor policy rate yaitu kenaikan suku bunga acuan BI yaitu BI-7 days Repo Rate pada November 2018 menjadi 6%.
Kebijakan tersebut mendongkrak imbal hasil aset-aset keuangan Indonesia sehingga kian menarik di mata investor asing. Hal itu setidaknya tercermin dari lelang Surat Berharga Negara (SBN) pada pekan lalu yang kebanjiran permintaan dari para investor. Apalagi, bank sentral AS yaitu Federal Reserve (The Fed) tidak jadi menaikkan suku bunganya pada akhir tahun lalu.
Faktor kedua, kebijakan suku bunga di AS yang diprediksi tidak setinggi dari perkiraan awal. BI memperkirakan, bank sentral AS hanya akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 1-2 kali dalam tahun ini. Ini lebih sedikit dibandingkan perkiraan sebelumnya sebanyak 3-4 kali.
Kondisi tersebut menyebabkan, investor global mengalihkan dan memarkirkan dananya di luar AS, khususnya di pasar negara-negara yang pasarnya sedang berkembang (emerging market). "Dollar tidak lagi 'is the king' pada tahun ini," ujar Perry.
Ketiga, BI memperkirakan neraca pembayaran pada tahun ini bakal lebih baik dibandingkan tahun 2018. Perry memperkirakan neraca pembayaran pada akhir tahun 2018 akan membaik yaitu di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Hal ini didukung oleh taksiran nilai transaksi modal dan finansial pada kuartal IV 2018 sebesar US$ 6 miliar sehingga dapat menambal defisit transaksi berjalan yang hingga kuartal III 2018 sebesar minus US$ 8,8 miliar. Jika defisit transaksi berjalan pada kuartal III 2018 sebesar minus 3,37% PDB maka BI memperkirakan besarannya akan turun menjadi sekitar 2,5% PDB pada tahun ini.
Faktor keempat, perbaikan mekanisme di pasar valuta asing. Jika sebelumnya cuma ada transaksi tunai maka saat ini sudah ada pasar swap dan pasar valas berjangka Domestic Non Deliverable Forward (DNDF). "Ini membuat mekanisme pasar berjalan semakin kuat," kata Perry.
(Baca juga: Darmin Lihat Rupiah Bisa Terus Menguat, Sri Mulyani Bersikap Waspada)
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution berpendapat kurs rupiah masih sedikit terlalu murah alias undervalue. Hal ini seiring pelemahan signifikan rupiah mulai Februari hingga Oktober tahun lalu. “Masih ada ruang (penguatan), walaupun tidak banyak,” katanya di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/1).
Ia menjelaskan, para analis internasional juga sudah merekomendasikan untuk kembali masuk ke aset dalam rupiah sejak kuartal terakhir tahun lalu. “Istilah mereka rupiah harusnya overweight, waktunya dibeli."
Penerbitan surat utang negara (SUN) oleh pemerintah juga turut mendorong penguatan rupiah. Yang terkini, pemerintah melakukan lelang SUN pada 3 Januari 2019. Lelang mengalami kelebihan permintaan (oversubscribe) nyaris dua kali lipat.
Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kewaspadaan tetap dipertahankan. Sebab, kondisi global bisa berubah sehingga mengubah situasi. “Perubahan bisa terjadi."
Beberapa faktor global yang diwaspadai di antaranya kebijakan perdagangan AS atas Tiongkok dan kebijakan moneter bank sentral AS. “Itu semua faktor dinamis yang perlu kami lihat,” ujarnya.
Adapun data ekonomi domestik yang positif seperti kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun lalu, serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi membuat posisi Indonesia berbeda dibandingkan beberapa negara lain.
"Sehingga kita bisa mendapat manfaat dalam bentuk capital inflow (arus masuk dana asing)," kata Sri Mulyani. Ini menjadi faktor penyokong penguatan rupiah pada awal tahun ini.