Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak 2018 dari empat sektor utama tumbuh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor yang dimaksud yakni industri pengolahan, perdagangan, konstruksi dan real estat, serta pertanian.
Berdasarkan data sementara, penerimaan pajak dari industri pengolahan sebesar Rp 363,6 triliun atau tumbuh 11,12% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan 2017 yang sebesar 18,28%. Begitu juga dari industri perdagangan sebesar Rp 234,46 triliun, naik 23,72% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan 2017 yang sebesar 25,09%.
Kemudian, penerimaan pajak dari industri konstruksi dan real estat sebesar Rp 83,51 triliun, tumbuh 6,62% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan 2017 yang sebesar 7,61%. Terakhir, dari industri pertanian sebesar Rp 20,69 triliun, tumbuh 21,03% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan 2017 yang mencapai 28,75%.
(Baca juga: Penerimaan Pajak 2018 Hanya Capai 92,4% dari Target, Kurang Rp 108,1 T)
Sementara itu, penerimaan dari dua sektor utama lainnya yaitu industri pertambangan serta jasa keuangan dan asuransi tercatat membaik. Penerimaan dari industri pertambangan tercatat sebesar Rp 80,55 triliun, tumbuh 51,15% secara tahunan, lebih baik dibandingkan 2017 yang sebesar 40,83%.
Sedangkan penerimaan pajak dari industri jasa keuangan dan asuransi sebesar Rp 162,15 triliun, tumbuh 11,91% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan 217 yang sebesar 8,57%.
Adapun dengan perkembangan ini, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 1.315,9 triliun atau 92,4% dari target sebesar Rp 1.424 triliun. Ini artinya, terjadi kekurangan penerimaan pajak atau shortfal Rp 108,1 triliun, lebih besar dari proyeksi sebelumnya yaitu Rp 73,1 triliun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menjelaskan, turunnya pertumbuhan penerimaan pajak di beberapa sektor utama ini imbas kinerja bisnis yang turun.
(Baca juga: Data Keuangan Nasabah Jadi Andalan Buat Capai Target Pajak 2019)
Industri pengolahan loyo lantaran harga bahan baku impor meningkat seiring pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), permintaan yang tidak tumbuh signifikan terutama yang berorientasi ekspor, dan pengaruh dari perang dagang.
“Dan FDI (foreign direct investment/investasi asing langsung) manufaktur anjlok,” kata dia kepada katadata.co.id, Kamis (3/1).
Sementara itu, industri perdagangan mendapat hantaman dari perlambatan konsumsi rumah tangga. “Bisnis penjualan motor dan mobil tahun 2018 masih suram,” ujarnya.
Di sektor konstruksi dan real estat, pembangunan hunian residensial kelas atas, apartemen, pusat perbelanjaan dan hotel melambat. Ini di antaranya karena kelas menengah atas menahan belanja lantaran khawatir dengan pelemahan kurs rupiah dan Pemilu. “Sementara properti komersil kena perlambatan ekonomi,” kata dia.
Untuk sektor pertanian, ia menjelaskan, kinerjanya terdampak oleh harga komoditas perkebunan khususnya sawit dan karet anjlok di 2018.
Melihat perkembangan tersebut, ia pun pesimistis target penerimaan pajak bisa tercapai pada 2019. Adapun pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan -- pajak dan bea cukai -- sebesar Rp 1.781 triliun tahun ini alias naik 17% dari realisasi sementara 2018 yang sebesar Rp 1.521 triliun.
“Tahun 2018 masih tertolong sama sektor migas dan batu bara. Di 2019, harga dua komoditi itu bisa turun. Jadi penerimaan perpajakan target growth 17% agak mimpi di siang bolong,” ujarnya.