Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjelang akhir tahun ini. Rupiah kembali ke level 14.600 per dolar AS pada perdagangan Rabu (26/12). Ini melanjutkan pelemahan yang terjadi pada pekan lalu, setelah Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan bunga acuan dan menyampaikan prediksi bahwa defisit transaksi berjalan kuartal IV masih tinggi.
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menjelaskan, secara fundamental, pelaku pasar memang mencermati proyeksi defisit transaksi berjalan kuartal IV yang melebar. Ini memengaruhi keputusan untuk penempatan dana. Namun, di luar itu, ada juga faktor profit taking atau aksi ambil untung di akhir tahun, khususnya oleh investor asing.
“Ada tren profit taking di bursa saham terutama asing karena net sells asing Rp 6,94 triliun sebulan terakhir. Seasonal-nya seperti itu di akhir tahun,” kata dia kepada katadata.co.id, Rabu (26/12). Ia menambahkan, pergerakan dana asing juga dipengaruhi faktor global berupa sinyal dovish bank sentral AS untuk kebijakan bunga acuan di 2019 dan berhentinya (shutdown) operasional pemerintah AS secara parsial sejak pekan lalu.
(Baca juga: Libur Natal Usai, IHSG Kembali Terkoreksi Terpengaruh Bursa AS)
Saat berita ini ditulis, mengacu pada data RTI, investor asing masih membukukan penjualan bersih (net foreign sell) sebesar Rp 102,21 miliar di keseluruhan pasar atau Rp 2,68 triliun dalam sepekan. Sering pergerakan tersebut, nilai tukar rupiah bergerak pada rentang 14.596-14.609 per dolar AS sepanjang perdagangan pada sesi pagi hingga siang ini, lebih lemah dibandingkan penutupan pada Jumat (21/12) pekan lalu yang sebesar Rp 14.552 per dolar AS.
Ia pun melihat belum ada faktor yang cukup kuat untuk memicu rupiah kembali dalam tren penguatan akhir tahun ini. Apalagi, tidak ada lagi penerbitan obligasi pemerintah dalam dolar AS untuk pendanaan belanja awal 2019 (prefunding). “Di tanggal kejepit liburan ini kelihatannya tidak ada penerbitan obligasi pemerintah jadi valas (valuta asing) masuknya terbatas,” ujarnya.
(Baca juga: Pemerintah Jual Obligasi Global US$ 3 Miliar untuk Danai Anggaran 2019)
Adapun rupiah sempat mengalami tren penguatan November lalu, setelah menembus level tertingginya Rp 15.200 per dolar AS pada akhir Oktober. BI melansir hal tersebut seiring arus masuk dana asing karena meredanya ketidakpastian global, di antaranya terkait perang dagang AS-Tiongkok dan kenaikan bunga AS yang kemungkinan tidak akan seagresif perkiraan semula. Selain itu, meningkatnya kepercayaan investor asing terhadap Indonesia.
BI mencatat arus masuk dana asing sepanjang November lalu mencapai US$ 7,9 miliar ke saham, obligasi pemerintah, dan obligasi global swasta. Beberapa perusahaan pelat merah memang tercatat menjual obligasi global pada akhir Oktober dan November, di antaranya Inalum untuk pelunasan akuisisi Freeport. Seiring derasnya pasokan valas, nilai tukar rupiah menguat 6,29% secara point to point pada November.