Kekhawatiran akan risiko resesi ekonomi Amerika Serikat (AS) mencuat mulai pekan lalu. Hal ini memunculkan pertanayaan mengenai kemungkinan efek domino ke negara lainnya, termasuk Indonesia. Para ekonom menyatakan pentingnya hilirisasi industri dan pendalaman pasar surat utang untuk mengantisipasi risiko tersebut.
Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan risiko resesi AS sebetulnya bisa diprediksi dari perkembangan pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. Pada 2017-2018, delta penambahan pertumbuhan ekonomi AS mengecil. “Peak-nya (puncaknya) itu memang di 2020 kalau enggak flat (datar) itu turun,” kata dia dalam acara Mandiri Outlook Economy 2019 di Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu (12/12).
(Baca juga: Menakar Potensi Resesi Amerika dari Kurva Yield yang Terbalik)
Mengacu pada proyeksi International Monetary Fund (IMF), ia menyebut, seiring perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga melambat setelah 2020. Meski begitu, ia belum mengkaji lebih dalam seberapa cepat penurunan pertumbuhan ekonomi AS. "(Tapi) kalau lihat dari global forecaster, pertumbuhan ekonominya akan melambat terus," kata dia.
Ia menjelaskan, perlambatan pertumbuhan ekonomi AS bisa saja berdampak pada Indonesia meski tidak secara langsung, yakni melalui Tiongkok. Bila ekonomi Tiongkok terdampak, maka akan memengaruhi kinerja ekspor terutama ekspor komoditas Indonesia. “Berapa kali analisis elastisitisnya itu 1% pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,09 basis poin,” kata Andry.
(Baca juga: Tiongkok Kurangi Permintaan, Pengusaha Batu Bara Terpukul)
Menurut dia, untuk mengantisipasi potensi risiko tersebut, pemerintah dapat mendorong hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai jual bahan mentah. "Jadi perbanyak basis manufaktur. Semua ujung-ujungnya ke situ," ujarnya.
Di sisi lain, Head Of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menilai hal yang perlu dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) adalah memperdalam pasar surat utang (bond market). Menurut dia, saat ini adalah saat yang tepat untuk melakukan hal tersebut.
Ia pun menyinggung keinginan pemerintah untuk menurunkan kepemilikan asing pada surat utang negara (SUN) dari saat ini sebesar 38% dari SUN yang diperdagangkan. Menurut dia, untuk bisa mendorong hal tersebut, kuncinya adalah memperluas basis investor selain dengan memberikan insentif.
"Pertama, bagaimana kita memperluas investor. Kedua, bagaimana instrumen diperbanyak. Ketiga, infratrukturnya seperti apa," ujar pria yang akrab disapa Anto tersebut.
Untuk bisa memperluas basis investor, ia menekankan perlunya memperkuat kondisi makro ekonomi dalam negeri, seperti menjaga inflasi agar tetap stabil. Dengan begitu, investor jangka panjang seperti dana pensiun dan asuransi berani untuk mengunci investasinya karena tidak ada volatilitas inflasi. "Jadi, yield walaupun tidak besar, tetap menarik," katanya.
Kekhawatiran akan terjadinya resesi di AS muncuat setelah kurva yield obligasi pemerintah AS mengalami kondisi terbalik (inverted yield curve). Ini kejadian pertama dalam sepuluh tahun terakhir. Problemnya, inverted yield curve selama ini terbukti menjadi indikator akan terjadinya resesi.
Pekan lalu, indeks New York Stock Exchange dan Nasdaq tumbang setelah yield obligasi pemerintah atau treasury bond tenor 5 dan 3 tahun mengalami kondisi terbalik atau inverted. Kurva terbalik terjadi ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor singkat lebih tinggi dibandingkan yield obligasi dengan tenor yang lebih panjang. Fenomena ini terakhir kali terjadi pada 2007, menjelang krisis keuangan 2007-2008.