Nilai tukar mata uang Asia menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah Gubernur The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell memberikan sinyal perlambatan kenaikan bunga AS. Nilai tukar rupiah menguat lebih dari 1% ke kisaran Rp 14.300-an dan memimpin penguatan mata uang Asia.
Nilai tukar rupiah sempat menembus 14.339 per dolar AS pada perdagangan di pasar spot, Kamis (29/11) siang, atau menguat 1,3% dibandingkan posisi penutupan sehari sebelumnya. Adapun saat berita ini ditulis, nilai tukar rupiah tercatat Rp 14.356 atau menguat 1,19% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.
Penguatan nilai tukar rupiah paling besar di antara mata uang Asia lainnya. Penguatan terbesar kedua rupee India 0,97%, kemudian diikuti won Korea Selatan 0,64%, yen Jepang 0,31%, ringgit Malaysia 0,3%, peso Filipina 0,29%, dolar Taiwan 0,24%, yuan Tiongkok 0,2%, dolar Singapura 0,17%, dan dolar Hong Kong 0,04%. Sementara itu, baht Thailand justru melemah 0,08%.
(Baca juga: Kurs Rupiah Terlalu Lemah, Nilai Fundamental Rp 14.200 per Dolar AS)
Mengutip CNN, penguatan ini seiring interpretasi pelaku pasar atas penyataan Gubernur The Fed Jerome Powell. Dalam pidatonya, Powell mengatakan bahwa bunga acuan “just below” atau sedikit di bawah kisaran “neutral” alias normal, yaitu level yang dipercaya The Fed tidak akan mengakselerasi ataupun memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Pernyataan tersebut berubah dari Oktober lalu bahwa bunga acuan masih “a long way” atau jauh dari “neutral”. Perbedaan istilah yang digunakan Powell diinterpretasikan pelaku pasar sebagai sinyal bakal terjadi perlambatan kenaikan bunga acuan AS.
Pada Rabu (28/11) waktu setempat, Powell bahkan sempat menganalogikan sikap The Fed dalam menentukan kebijakan bunga acuan layaknya sedang memasuki ruangan gelap dengan banyak furnitur.
“Apa yang akan Anda lakukan?” kata Powell. “Anda melangkah pelan-pelan. Anda mungkin akan berjalan tidak terlalu cepat. Anda merasakan langkah Anda. Di kondisi tidak pasti seperti ini, Anda berhati-hati. Saya pikir itu yang sedang kami lakukan.”
Setelah pernyataan tersebut, indeks di bursa saham AS menguat, dan diikuti penguatan sebagian besar indeks di bursa saham Asia, terutama indeks di negara berkembang. Sementara itu, indeks dolar AS masih kuat di kisaran 96, namun cenderung melemah.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan melambat. Perlambatan ekonomi di negara tersebut bakal mendorong The Fed meninjau kembali rencana kenaikan suku bunganya. Hal ini pun tercermin dari pernyataan Powell.
Pieter mengatakan, perkembangan ini telah memengaruhi keputusan investor di pasar saham dan obligasi. “Investor mulai mengalihkan pandangannya dari Amerika,” ujarnya. Hal ini tercermin dari derasnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan negara berkembang sehingga mendorong penguatan nilai tukar mata uang dalam beberapa pekan belakangan.
World Bank memproyeksikan ekonomi AS hanya akan tumbuh 2,5%, melambat dari tahun ini 3%. Menurut Pieter, perang dagang yang dikomandoi Presiden Donald Trump justru berdampak negatif terhadap perekonomian AS. Stok kedelai Negeri Paman Sam menumpuk sementara panen raya sudah di depan mata.