Bank Indonesia (BI) dan bank sentral Tiongkok, People's Bank of China (PBC), sepakat memperpanjang sekaligus menambah nilai kerja sama pertukaran mata uang atau bilateral currency swap arrangement (BCSA). Nilai kerja sama naik dari semula sebesar 100 miliar yuan atau setara US$ 15 miliar menjadi 200 miliar yuan atau setara US$ 30 miliar.
Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dan Gubernur PBC Yi Gang pada Jumat (16/11) pekan lalu. BCSA ini untuk menjamin penyelesaian transaksi perdagangan antarkedua negara bisa dilakukan dengan mata uang lokal sekalipun dalam kondisi krisis. Adapun perjanjian ini berlaku efektif selama tiga tahun dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak.
(Baca juga: Demi Cadangan Devisa, Pertamina Bayar Minyak Petronas Pakai Rupiah)
Perry mengatakan perjanjian tersebut merefleksikan penguatan kerja sama moneter dan keuangan antara BI dan PBC. "Ini sekaligus menunjukkan komitmen kedua bank sentral untuk menjaga stabilitas keuangan di tengah berlanjutnya ketidakpastian di pasar keuangan global," kata dia seperti dikutip dari siaran pers BI, Senin (19/11).
Perry meyakini bahwa kerja sama dengan bank sentral lain dapat semakin meningkatkan kepercayaan pasar terhadap fundamental ekonomi Indonesia. Selain dengan Tiongkok, BI tercatat melakukan kerja sama serupa di antaranya dengan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) senilai US$ 22,76 miliar, kemudian dengan otoritas moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore) senilai US$ 10 miliar.
(Baca juga: Pertama dalam 9 Bulan, Cadangan Devisa Oktober Naik US$ 400 Juta)
Lalu, kerja sama serupa bernilai 10 miliar dolar Australia dengan bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia), dan kerja sama senilai 10,7 triliun won Korea dengan bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea). Sederet kerja sama ini bisa menjadi bantalan bagi cadangan devisa Indonesia.