Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengakui dalam 12 bulan terakhir, pemerintah kehilangan momentum dalam memperbaiki peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia. Hal ini menyebabkan peringkat EoDB menurun satu peringkat.
Menurutnya, negara lain fokus pada perbaikan kemudahan berusaha dengan semangat yang berapi-api, sementara Indonesia kehilangan fokus. "2017 Indonesia mulai kehilangan fokus. Semangat kita tidak sama dibandingkan tahun 2014-2016," kata dia dalam Konferensi Pers EoDB di Kantor Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Kamis (1/11).
Selain itu, ia menilai dalam tiga tahun terakhir, ranking EoDB diperoleh bukan lewat cara yang semestinya yaitu perbaikan fundamental pada sistem kerja pemerintahan. "Kita hampir kaya pakai cara-cara hacker dengan otak-atik prosedur," ujarnya.
(Baca: Menjauh dari Target Jokowi, Kemudahan Usaha di Indonesia Turun Jadi 73)
Ia pun menyinggung soal kebijakan pemangkasan prosedur administrasi dari tiga minggu menjadi tiga hari. Selain itu, biaya administrasi yang diturunkan dari Rp 3 juta menjadi Rp 300 ribu. Menurut dia, cara tersebut tidak akan membuat perbaikan signifikan dari perbaikan yang sudah ada sebelumnya. "Kalau kita hanya sebatas otak-atik prosedur, kita akan mentok," kata dia.
Untuk perbaikan peringkat menjadi 40 besar, perbaikan harus dilakukan dari akar permasalahan, yaitu keseluruhan sistem pemerintahan, termasuk pola kinerja, penilaian, dan prestasi yang menitikberatkan pada prosedur dan pemenuhan syarat, serta bukti kepatuhan peraturan.
Thomas mengatakan, Presiden Joko Widodo sempat mengamanatkan birokrasi harus berpindah fokus dari aturan menjadi fokus pada hasil. Sedangkan kondisi saat ini, fokusnya masih pada aturan. Proses izin berusaha banyak memakan waktu di adminsitrasi dengan berbagai syarat dan berkas.
(Baca: Di Tingkat Asean, Kemudahan Berbisnis Indonesia Peringkat 6)
Menurut dia, perubahan fundamental pada sistem tersebut diperlukan bukan hanya bagi pelaku birokrasi tetapi juga penegak hukum. Ia pun mengingatkan langkah Jokowi pada 2-3 tahun yang lalu yang memanggil lembaga audit dan lembaga penegak hukum untuk fokus kepada hasil dan mengurangi tindakan korupsi.
Lebih jauh, ia mengatakan tantangan lain perbaikan EoDB dari Pemerintah Daerah (Pemda) dan pemerintah pusat masih serupa, yaitu terjebak pada pola kegiatan yang tidak produktif. Selain itu, para pejabat masih melakukan praktik saling sandera dan peras.
Senada dengan Thomas, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan reformasi birokrasi tidak bisa sebatas mempercepat prosedur administasi. "Orang lain reform-nya jauh mendasar. Dia mengubah bisnis proses secara mendasar, bukan cuma otak-atik," ujar dia.
(Baca juga: Tiga Indikator Penyebab Peringkat Kemudahan Usaha di Indonesia Turun)
Adapun, Darmin mengatakan sistem Online Single Submission (OSS) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mempercepat kemudahan berusaha. Namun, sistem tersebut baru dilucurkan pada Juni lalu. Sementara, sistem tersebut baru bekerja penuh pada akhir Desember.
Dari sisi layanan perpajakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan reformasi terus dilakukan untuk mendorong kemudahan berusaha. "Kami pakai sistem IT (information and technology), e-filling, paying tax, jadi tidak ada yang ke kantor pajak, jadi waktunya lebih kecil," kata dia.
Selain itu, akan ada perbaikan untuk mendukung aktivitas ekspor impor. Perbaikan dilakukan dengan mengurangi aturan maupun biaya.
Adapun, hasil survei EoDB yang dilakukan oleh Bank Dunia dinilainya memiliki gap (perbedaan) dengan implementasi di lapangan. Ia mengatakan, Direktorat Bea dan Cukai tidak melakukan pungutan biaya, namun hasil survei menunjukkan adanya pemungutan biaya pada perdagangan lintas batas.
Selain itu, ada perbedaan penilaian durasi perizinan dengan implementasi di lapangan. "Setengah jam selesai, namun di-record waktunya lebih dari 10 jam," ujar Sri Mulyani.
Di sisi lain, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly mengatakan pendirian perusahaan terbuka (PT) sudah sangat cepat. Namun, hasil survei EoDB menunjukkan proses perizinan pada notaris masih membutuhkan waktu yang lama. "Ini yang perlu diubah," kata dia.
Saat ini, Kementerian Hukum dan HAM tengah dalam proses untuk mengeluarkan Peraturan Menteri untuk meningkatkan kualitas notaris. Aturan tersebut untuk meningkatkan kompetensi notaris dengan mengadakan ujian kompetensi. Namun demikian, rencana tersebut sempat ditolak oleh Mahkamah Agung. "Saya jadi bingung karena ini untuk meningkatkan kompetensi," ujarnya.
Sebagai informasi, peringkat EoDB Indonesia berada di posisi 73 dari 190 negara dibandingkan tahun lalu di peringkat ke-72. Peringkat Indonesia ini berada di bawah Peru, Vietnam, Kirgistan, Ukraina, dan Yunani.
Dari 11 indikator yang menjadi acuan Bank Dunia dalam penilaian EoDB ini, Indonesia menunjukkan perbaikan pada tiga indikator. Untuk indikator kemudahan memulai bisnis, Indonesia berhasil memangkas dan menyederhanakan prosedur pasca pencatatan administratif, antara lain dalam hal administrasi pajak, jaminan sosial, dan perizinan.
Untuk indikator kemudahan pendaftaran properti, Indonesia berhasil meningkatkan efisiensi administratif. Selanjutnya, untuk indikator pemerataan informasi kredit, Indonesia berhasil mengembangkan cakupan informasi yang dikumpulkan dan dilaporkan oleh biro kredit. Indonesia mendapatkan skor 67,96, naik 1,42 poin dibandingkan tahun lalu.
Indikator-indikator lainnya yang tidak menunjukkan perbaikan adalah kemudahan dalam perizinan konstruksi, kemudahan untuk mendapatkan listrik, serta penguatan hak para kreditur dan debitur di mata hukum.
Selain itu, Indonesia juga dinilai belum menunjukkan perbaikan dalam perlindungan untuk investor minoritas, kemudahan dalam pembayaran pajak, perdagangan antarnegara, eksekusi kontrak bisnis, penyelesaian masalah kepailitan, dan aturan perburuhan.