Ekonom Universitas Indonesia (UI) Febrio Kancaribu menilai pemerintah masih punya ruang untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Hal itu lantaran capaian inflasi masih rendah. Kenaikan harga BBM yang tidak terlalu besar tidak akan banyak mengerek inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sepanjang Januari-September sebesar 1,94%, sedangkan secara tahunan (year on year/yoy) sebesar 2,88%. “Ada ruang untuk naikkan inflasi sedikit dari 2,8% ke 3,5%. It's not a big problem," kata Febrio di Kampus UI, Jakarta, Jumat (12/10).

Menurut dia, masyarakat memang perlu dibiasakan untuk melihat bahwa harga BBM tidak tetap. Bila harga minyak naik di pasar internasional, maka masyarakat harus siap harga BBM naik. Hal itu lantaran pemenuhan kebutuhan minyak untuk BBM dari impor. 

(Baca juga: Keputusan Menggantung Soal Harga Premium Kerek Harga Barang)

Kenaikan harga dinilai Febrio tidak akan serta-merta menurunkan konsumsi BBM. Pengurangan konsumsi hanya terjadi bila harga baru dirasa terlalu mahal. Atas dasar itu, ia menilai defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit) akan turun sedikit. “Ini 3,04% (terhadap PDB pada kuartal II), 2018 bisa 2,9%,” kata dia. 

Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual juga mendukung rencana kenaikan harga BBM. Namun, ia menyarankan kenaikan harga BBM secara perlahan. "Jadi efek psikologis harus diperhitungkan, kebijakan bisa dicoba dulu selama dua atau tiga bulan," ujar dia.

Lebih jauh, ia berpendapat pemerintah perlu kembali kepada kebijakan lama yaitu mengevaluasi harga BBM secara berkala yaitu tiga bulanan, agar bisa mengikuti perkembangan terkini dari harga minyak dunia. Adapun harga minyak dunia mengalami tren kenaikan sejak pertengahan 2017.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumumkan rencana kenaikan harga BBM jenis premium. Rencananya, harga premium untuk Jakarta, Madura, dan Bali (Jamali) bakal dinaikkan dari Rp 6.450 per liter menjadi Rp 6.900 per liter. Sementara itu, harga premium di luar Jamali naik dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 7.000 per liter.

(Baca juga: Kenaikan Harga BBM Premium Dibahas Usai Forum IMF-Bank Dunia)

Namun, hanya berselang beberapa jam dari pengumuman, pemerintah menyatakan rencana tersebut ditunda. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah perlu mengkaji berbagai dampak dari kenaikan harga BBM, termasuk kaitannya dengan kondisi keuangan Pertamina.

Seperti diketahui, Pertamina menanggung selisih antara harga beli dan harga jual premium. Harga keekonomiannya ditaksir sudah sekitar Rp 9.000 per liter. Meski begitu, menurut Suahasil, Pertamina masih ada keuntungan walaupun menanggung beban selisih itu.

Dampak lainnya yang juga dipertimbangkan dalam kebijakan BBM yakni daya beli masyarakat. Ini karena kenaikan harga BBM biasanya diikuti dengan produk lainnya seperti makanan dan bahan pokok, meskipun ada faktor lain seperti infrastruktur.

Jika kenaikan harga BBM membuat inflasi melonjak, daya beli masyarakat pun akan terpukul. "Jadi, (pemerintah mengkaji) seberapa besar pengaruh ke daya beli masyarakat tergantung naiknya inflasi," kata Suahasil.