Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan cepat sepanjang pekan ini. Pada perdagangan di pasar spot Kamis (4/10), nilai tukar rupiah ditutup di level 15.179 per dolar Amerika Serikat (AS) atau melemah 1,8% dibandingkan penutupan pada Senin (1/10). Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Bank Indonesia (BI) pun menjelaskan kondisi saat ini.

Sri Mulyani mengatakan pelemahan kurs rupiah disebabkan oleh penguatan dolar AS. Dolar AS menguat terhadap mata uang utama dunia, termasuk euro, imbas beberapa isu, yang terkini yakni defisit fiskal Italia. "Mayoritas ini masalah eksternal," kata dia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (4/10).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyatakan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang menyasar perbaikan defisit transaksi berjalan guna membantu stabilitas nilai tukar rupiah. Kebijakan tersebut di antaranya adalah meredam impor barang konsumsi dengan menaikkan pajak impor 1.147 barang.

(Baca juga: Menteri Luhut: Kenapa Harus Risau Rupiah Mencapai 15.000 per Dolar?)

Selain itu, kewajiban pencampuran 20% minyak sawit mentah ke dalam solar guna menekan impor minyak. Adapun pihaknya terus memantau pergerakan impor setelah penerapan beberapa kebijakan tersebut. "Akan kami lihat laporannya setiap minggu dan posisi terakhir menunjukkan penurunan (impor barang konsumsi)," ujar dia.

Meski kurs rupiah kian lemah, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan berbagai indikator menunjukkan depresiasi rupiah tidak perlu dikhawatirkan. Menurut dia, permintaan dan pasokan dolar AS masih berjalan baik, begitu juga dengan kondisi perbankan.

"Banking sector resiliensi-nya bagus. CAR (Capital Adequacy Ratio/rasio kecukupan modal) juga di atas 20%," kata dia di kantornya, Jakarta, Kamis (4/10). Rasio tersebut di atas batas minimum sebesar 14%. Likuiditas perbankan juga dinilai masih cukup. BI akan masuk ke pasar untuk menambah likuiditas rupiah bila kondisinya mengetat.

Pergerakan inflasi juga terjaga pada kisaran 2,5-4,5% sesuai dengan target pemerintah. Adapun inflasi yang terkendali diharapkan bisa menjadi penyokong perekonomian.

Ia menambahkan, Indonesia sudah berpengalaman dalam menghadapi pelemahan rupiah pada tahun 2008. Maka itu, publik tidak perlu khawatir. Apalagi, pelemahan nilai tukar tidak hanya dialami oleh Indonesia, tapi juga negara lainnya, bahkan negara maju. "Australia juga mengalami pelemahan kurs," ujar dia.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution