Banyak pihak kerap menyebut ekonomi Indonesia telah dikuasai pemodal asing. Namun, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menyebut pernyataan tersebut “jauh api dari panggang” bila melihat data investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) yang masuk ke Indonesia. Persentase FDI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia merupakan yang terkecil di antara negara Asia Tenggara.
Faisal mengatakan, persentase FDI terhadap PDB di Indonesia mengalami peningkatan, namun masih jauh dibandingkan banyak negara lainnya, termasuk negara-negara di Asia Tenggara. Persentasenya berkisar 24,1% pada periode 2011 sampai 2016, naik dari kisaran 16,2% pada periode tahun 2005 hingga 2010.
"Peranan asing meningkat tapi levelnya masih di bawah rata-rata FDI Asia Tenggara 66% dari PDB," kata dia di Jakarta, Selasa (2/10). Lebih rinci, ia pun membandingkan dengan persentase serupa di Malaysia yang mencapai 40,6%, Thailand 44,7%, negara komunis Vietnam yang mencapai 50,5%, serta negara sosialis Bolivia yang mencapai 33,7%.
(Baca juga: Pemerintah Siap Memperluas Tax Holiday Untuk Memacu Investasi)
Rata-rata persentase FDI terhadap Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) alias total investasi fisik di Indonesia juga tercatat rendah. Persentasenya pada kurun 2005-2006 berkisar antara 5,6% sampai 5,7%. Sementara itu, bila mengacu pada laporan UNCTAD, persentase tersebut pada periode sama di Malaysia berkisar 13,6% sampai 14% dan Vietnam antara 20,4% sampai 23,2%.
Lebih jauh, Faisal menjelaskan, bila melihat ke sejumlah sektor, pemain besar yang menguasainya masih merupakan perusahaan nasional. Ia pun mencontohkan sektor perbankan yang dikuasai sejumlah pemain seperti Bank Mandiri, BRI, BCA dan BNI. Kemudian, sektor pertambangan didominasi oleh Aneka Tambang, Bukit Asam, hingga Adaro.
Indonesia Butuh Investasi Asing
Faisal mengatakan Indonesia perlu mendorong FDI untuk menguatkan perekonomian. FDI yang merupakan jenis investasi berjangka panjang diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ia mendorong FDI khususnya pada bisnis yang berorientasi ekspor sehingga bisa turut membantu perbaikan defisit neraca transaksi berjalan alias neraca perdagangan barang dan jasa lintas negara.
Sejauh ini, investasi asing lebih banyak berbentuk investasi portofolio dalam saham maupun obligasi alias investasi yang mudah keluar-masuk (jangka pendek). Ketergantungan Indonesia terhadap jenis investasi ini untuk menutup kekurangan valuta asing (valas) imbas defisit neraca transaksi berjalan membuat nilai tukar rupiah rentan melemah.
Maka itu, Faisal menekankan pentingnya FDI. "Kalau FDI masuk, saat krisis mereka tidak akan keluar ke luar negeri membawa pabriknya," kata dia. (Baca juga: Rupiah 15.000 per Dolar AS, Pemerintah Disarankan Tahan Dividen Asing)
Ia mendorong peningkatan FDI terutama untuk pengembangan bisnis yang berorientasi ekspor sehingga bisa membantu memperbaiki neraca transaksi berjalan. Adapun sejauh ini, FDI yang berada di Indonesia masih berorientasi terhadap pasar dalam negeri. "Contohnya, pabrik Nestle memproduksi air mineral, namun pasarnya di Indonesia," ujar dia.
Namun, ia menilai pemerintah perlu mendiversifikasi negara asal FDI. Dengan demikian, tidak ada satu negara yang dominan berinvestasi di Indonesia. (Baca juga: BKPM Sebut Rupiah dan Politik Penyebab Rendahnya Investasi Kuartal II)
Adapun FDI yang masih rendah dinilai Faisal lantaran kurangnya daya tarik investasi di dalam negeri. Selain itu, ia sempat menyinggung sikap pemerintah yang tak konsisten terhadap investasi asing. Di satu sisi pemerintah berupaya menarik minat investor asing melalui sejumlah insentif. Namun, di sisi lain, pemerintah mempersempit ruang gerak asing dengan pengubahan regulasi kepemilikan asing pada industri asuransi menjadi hanya 80%.