Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mengurangi defisit perdagangan barang dan jasa lintas negara atau defisit transaksi berjalan. Namun, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan dampak dari kebijakan pemerintah tersebut baru terlihat pada 2019.
"Langkah-langkah konkrit pemerintah sudah banyak dilakukan seperti (kebijakan) biodiesel 20% (B20), kenaikan tarif pajak impor, menunda sejumlah proyek dan dorong pariwisata. Hasilnya baru terlihat di 2019," kata Perry dalam Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Kamis (27/9).
Pada kuartal III, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan akan berada di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini artinya, lebih rendah dari realisasi pada kuartal sebelumnya yang menembus ambang batas aman yang dibidik otoritas yaitu 3% terhadap PDB. Sementara itu, defisit diperkirakan berada pada kisaran 2,5% terhadap PDB tahun depan.
(Baca juga: Sri Mulyani Akan Terus Ngomel Selama Defisit Transaksi Berjalan Besar)
Seperti disinggung Perry, pemerintah telah mengeluarkan sederet kebijakan untuk secara cepat mengurangi defisit transaksi berjalan. Kebijakan yang dimaksud terutama melalui pengendalian impor. Di bidang energi, ada program campuran minyak sawit 20% ke dalam solar atau yang dikenal dengan kebijakan B20.
Kemudian, kebijakan peningkatan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Konsep TKDN berlaku pada seluruh lapangan usaha termasuk proyek infrastruktur. Pemerintah juga menaikkan pajak penghasilan (PPh) impor atas 1.147 barang konsumsi yang telah memiliki substitusinya di dalam negeri.
Sebelumnya, Perry sempat memperingatkan risiko defisit transaksi berjalan melebar hingga mencapai US$ 25 miliar sepanjang tahun ini. Risiko defisit tersebut perlu diwaspadai lantaran menunjukkan besarnya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan valas. Alhasil, harus bergantung pada arus masuk modal asing di antaranya ke portofolio. Hal ini membuat nilai tukar rupiah rentan gejolak.
Adapun pada triwulan II lalu, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar US$ 8,03 miliar atau sekitar 3,04% terhadap PDB. Dengan demikian, secara akumulasi, sepanjang semester pertama tahun ini, defisit telah mencapai US$ 13,75 miliar atau setara Rp 204 triliun, melonjak hampir dua kali lipat dibanding semester pertama tahun sebelumnya.