Danareksa Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Tahun Ini 5,2-5,3%

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Ihya Ulum Aldin
19/9/2018, 18.22 WIB

PT Danareksa (Persero) memprediksi ekonomi Indonesia pada akhir 2018 akan tumbuh antara 5,2-5,3%. Sedangkan pada 2019 sebesar 5,1-5,2% dan 2020 antara 5,3-5,4%. Pertumbuhan didukung konsumsi rumah tangga, peningkatan investasi, dan ekspor.

Head of Economic Research Danareksa Research Institute Damhuri Nasution menjelaskan beberapa pertimbangan pertumbuhan ekonomi tahun ini dan 2019, di antaranya ekspor dan investasi yang diproyeksi masih tumbuh bagus. Hal ini sejalan dengan ekspansi ekonomi dunia.

"Konsumsi rumah tangga pun diproyeksi tumbuh relatif stabil atau sedikit membaik,” kata dia dalam keterangannya saat acara Economic & Market Outlook di Gedung Danareksa, Jakarta, Rabu (19/9). (Baca: Meneropong Pertumbuhan Ekonomi di Pengujung Tahun)

Damhuri mengatakan investasi diperkirakan tumbuh baik sejalan dengan pembangunan infrastruktur, peningkatan rating, dan perbaikan iklim investasi. Adapun, konsumsi pemerintah juga diproyeksi relatif stabil, seiring dengan upaya menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanjan Negara (APBN).

Terkait nilai tukar rupiah, Damhuri menegaskan, nilai tukar rupiah saat ini masih mungkin bergejolak akibat normalisasi kebijakan moneter dan ekspansi fiskal Amerika Serikat (AS). Selain itu, masih ada kekhawatiran atas perang dagang AS-Tiongkok dan kenaikan harga minyak dunia. Hal-hal tersebut yang dapat memperlebar defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD). 

“Nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan di bawah nilai fundamentalnya karena faktor eksternal. Tapi, tekanan tersebut akan mulai mereda pada tahun 2019 dan 2020,” ujar Damhuri. (Baca: Pemerintah dan DPR Ubah Asumsi Kurs Rupiah 2019 Jadi 14.500 per Dolar)

Menurutnya, kebijakan moneter global masih cenderung ketat pada tahun depan dan mulai longgar pada tahun 2020. Itu diperkirakan karena tekanan inflasi mereda dan pertumbuhan ekonomi mengalami moderasi. Dengan rencana kenaikan suku bunga acuan AS dua kali pada 2019, yang berarti tidak seagresif tahun 2018, maka volatilitas pasar keuangan akan sedikit mereda.

Damhuri menilai langkah BI sudah tepat meredam depresiasi rupiah dengan upaya-upaya yang sudah dilakukan, diantaranya menaikkan suku bunga acuan BI sebesar 125 basis poin. Langkah ini juga diikuti kenaikan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN), sehingga investasi di instrumen ini mulai menarik. 

Selain itu, BI juga melakukan dual intervention demi menjaga volatilitas rupiah dan likuiditas, sekaligus stabilisasi pasar SUN.  Danareksa memperkirakan tekanan terhadap rupiah dapat mereda hingga akhir tahun ini dengan kisaran Rp 14.400 per dolar dan sekitar Rp 14.300 pada 2019.

Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) pun dinilai berpotensi kembali dinaikkan menjadi 5,75% hingga 6% pada tahun ini. Namun, Damhuri juga memproyeksi adanya kenaikan suku bunga acuan BI pada tahun depan hanya di kisaran 5,5% hingga 6%. 

(Baca: Anjloknya Rupiah Dinilai Bukan Sinyal Krisis, tapi Kondisi Normal)

Tekanan yang perlu diantisipasi, menurut Damhuri, adalah risiko eksternal yaitu perang dagang AS-Tiongkok, perang mata uang, dan geopolitik dunia yang kian memanas. Kemudian ekspansi fiskal AS yang pro-siklikal, serta normalisasi kebijakan moneter bank sentral global. 

Dari dalam negeri pun masih terdapat tekanan, yakni tingginya kepemilikan asing pada obligasi pemerintah dan kemarau panjang yang bisa menyebabkan kenaikan tekanan inflasi pangan, serta tahun politik. "Pilpres dan Pileg yang sejuk dan damai tentu menjadi harapan pelaku pasar, baik domestik maupun asing,” kata Damhuri.