Langkah Realistis Pemerintah Hadapi Defisit

KATADATA/
Penulis: Dini Hariyanti
16/8/2018, 13.48 WIB

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bahwa keran impor belum memungkinkan untuk disetop. Guna memperbaiki Neraca Perdagangan Indonesia (NPI), yang dapat dilakukan pemerintah masih sebatas pengendalian arus barang impor.

Belum lama ini, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa NPI kuartal kedua tahun ini mengalami defisit sebesar US$ 4,3 miliar. Jumlah ini membengkak dibandingkan kuartal pertama sebesar US$ 3,9 miliar, bahkan yang terburuk dalam tiga tahun terakhir.

(Baca juga: Impor Migas Naik, Defisit Transaksi Berjalan Juni Terburuk Sejak 2014)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah sejatinya hendak menyetop dalam jangka panjang. Tapi, yang kini dapat diupayakan ialah memperlambat aliran masuk barang impor. Pasalnya, sejumlah sektor industri tetap membutuhkan bahan baku dari luar negeri.

Sejalan dengan pengendalian arus impor maka diperlukan ketersediaan barang subtitusi dari dalam negeri. Darmin mencontohkan, di bidang energi ada program campuran bahan bakar nabati 20% di dalam solar (B20). Kebijakan ini akan dimuat dalam peraturan presiden (perpres).

“Di sana (B20) akan di atur bahwa akan dilakukan pencampuran (biofuel). Pertamina sebagai produsen BBM di dalam negeri juga akan melakukan pencampuran ini,” tuturnya di sela pertemuan dengan pengusaha Kadin Indonesia, Jakarta, Rabu (15/8) malam.

B20 diyakini akan memberikan hasil yang relatif cepat terkait upaya pengendalian impor. Asalkan, imbuh Darmin, tidak ada pihak yang ‘nakal’. Dengan kata lain, pemerintah optimistis program ini ampuh asalkan seluruh pemangku kepentingan terkait menjalankan sesuai aturan.

(Baca juga: BI: B20 Bantu Perbaiki Defisit Transaksi Berjalan)

Pemerintah agaknya punya misi lain melalui upaya subtitusi produk impor, yakni peningkatan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Konsep TKDN berlaku pada seluruh lapangan usaha termasuk proyek infrastruktur.

“Kita lihat sekarang, banyak yang tidak dipenuhi (TKDN). Jadi kami (pemerintah) akan lebih memastikan lagi di lapangan,” ucap menteri asal Sumatra Utara itu.

Kemenko Perekonomian juga mendengar usul dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait perpajakan. Kementerian ESDM menginginkan pajak impor peralatan yang digunakan dalam proyek strategis di bidang negeri jangan dibebaskan. “Agar produk dari dalam negeri bisa bersaing,” kata Darmin.

Senada, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan defisit pada neraca transaksi semakin dalam. “Untuk perbaiki itu kami (lakukan) subtitusi impor dan mendorong ekspor,” ujarnya.

Baru-baru ini, Kemenkeu menyatakan bahwa untuk menekan pelebaran defisit transaksi berjalan dilakukan penyisiran proyek berkonten impor besar pada PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).

Di dalam setiap proyeknya, dua perusahaan pelat merah itu memiliki master list yang memuat ratusan barang. Dari daftar ini maka Kementerian ESDM dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dapat memilah barang yang memerlukan impor. 

(Baca juga: Tekan Defisit Dagang, Pemerintah Evaluasi 500 Komoditas Impor)

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengutarakan dukungan terhadap langkah-langkah yang diambil pemerintah. “Kita harus berkembang sehat dan tumbuh berkualitas. Kami apreasiasi pemerintah atas bauran kebijakan untuk menguatkan rupiah ,” katanya.

Pelaku bisnis menegaskan bahwa mereka memiliki misi yang sama dengan Bank Indonesia maupun pemerintah di bidang perekonomian. Rosan menyatakan, pengusaha jelas mendahulukan kepentingan RI dibandingkan sekadar rupiah alias cuan.

Reporter: Rizky Alika