Impor Migas Naik, Defisit Transaksi Berjalan Juni Terburuk Sejak 2014

ANTARA FOTO/Moch Asim
Petugas mengangkut tumpukan uang kertas di Kantor Perwakilan BI Jawa Timur di Surabaya, Rabu (7/6).
Penulis: Rizky Alika
10/8/2018, 19.33 WIB

Bank Indonesia (BI) mengumumkan, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal kedua tahun ini mengalami defisit sebesar US$ 4,3 miliar. Jumlahnya membengkak dibandingkan kuartal I 2018 yang sebesar US$ 3,9 miliar, bahkan yang terburuk dalam tiga tahun terakhir.

NPI menunjukkan transaksi antara penduduk Indonesia dan penduduk negara lain dalam jangka waktu tertentu. Di dalamnya terdiri dari neraca transaksi berjalan (perdagangan barang dan jasa) serta neraca transaksi modal dan finansial. Defisit NPI mengindikasikan terdapat ketidakseimbangan di antara pasokan dan permintaan valuta asing. Alhasil, nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar AS.

Kepala Departemen Statistik BI Yati Kurniati menjelaskan, pemburukan neraca pembayaran saat ini disebabkan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit / CAD) membengkak. Hal ini terimbas dari bertambahnya defisit perdagangan minyak dan gas bumi (migas).

"Defisit CAD itu dipengaruhi oleh turunnya surplus perdagangan nonmigas sedangkan defisit neraca perdagangan migas naik," kata Yati, Jakarta, Jumat (10/8). 

(Baca juga: Dana Asing Keluar, Neraca Pembayaran Kuartal I Defisit US$ 3,9 Miliar)

Defisit neraca transaksi berjalan tercatat US$ 8 miliar atau setara dengan 3% Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit transaksi berjalan terhadap PDB terbesar sejak tahun 2014 yang mencapai 3,1%. Setelah tahun 2014 angka defisitnya melandai dan baru melejit naik lagi sejak kuartal IV 2017 yang sebesar 2,3%.  

Membengkaknya defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tersebut dipengaruhi transaksi perdagangan nonmigas hanya surplus US$ 3 miliar atau lebih rendah ketimbang triwulan pertama US$ 4,7 miliar. Penyebabnya, impor nonmigas naik terutama untuk jenis barang modal dan bahan baku.

Sementara itu, neraca perdagangan migas defisit US$ 2,7 miliar, angka ini lebih buruk dibandingkan dengan defisit pada triwulan pertama sebesar US$ 2,4 miliar. Penyebabnya adalah kenaikan harga minyak di pasar global sejalan dengan konsumsinya yang sedang tinggi. 

Pada triwulan kedua juga terjadi defisit neraca perdagangan jasa sejumlah US$ 1,8 miliar atau meningkat dibandingkan dengan triwulan pertama US$ 1,6 miliar. Impor jasa pengangkutan (freight) yang naik melatarbelakangi kondisi ini, belum lagi wisatawan domestik lebih memilih liburan ke luar negeri.

Di tengah kondisi ini sebetulnya neraca transaksi modal dan finansial surplus US$ 4 miliar. Surplus transaksi modal dan finansial bahkan lebih besar dibandingkan dengan triwulan pertama US$ 2,4 miliar. Sayangnya, perolehan ini belum cukup untuk membiayai defisit pada neraca transaksi berjalan.

Yati menjelaskan, aliran masuk investasi asing secara langsung ditambah investasi portofolio menjadi dorongan positif untuk transaksi modal dan fiansial. Surplus investasi naik lantaran adanya penarikan simpanan penduduk di bank luar negeri untuk membiayai kebutuhan di dalam negeri.

Lebih detail, imbuhnya, arus masuk dana asing pada investasi portofolio meningkat ke level US$ 1,3 miliar berkat penerbitan global bond dan corporate bond. Tak hanya itu, net jual investor asing terutama pada Surat Berharga Negara (SBN) berlanjut. Arus keluar dana asing dari portofolio mencapai US$ 1,3 miliar. 

“BI memperkirakan kinerja NPI tetap baik dan dapat terus menopang ketahanan sektor eksternal,” imbuhnya. Hal ini ditopang oleh defisit pada neraca transaksi berjalan sepanjang 2018 yang diprakirakan tetap dalam batas aman, yaitu di bawah 3% dari PDB.