Ekonom: Cadangan Devisa Terus Menyusut Sampai Pengujung 2018

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Rizky Alika
9/8/2018, 10.16 WIB

Kalangan ekonom memproyeksikan bahwa pada bulan-bulan mendatang posisi cadangan devisa Bank Indonesia (BI) terus menurun.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan cadangan devisa terimbas ketidakpastian kondisi ekonomi global. Apabila BI tidak melakukan penaikan bunga acuan 7-DRRR lagi, diprakirakan cadangan devisa bisa menyentuh US$ 105 miliar.

Namun, jika suku bunga acuan bank sentral kembali dikerek maka cadangan devisa diasumsikan bisa lebih besar. “Jika BI menaikkan bunga acuan dua kali atau 50 bps, asumsinya cadangan devisa bertahan pada level US$ 110 miliar,” kata Bhima kepada Katadata, Rabu (8/8).

Berdasarkan data BI, realisasi cadangan devisa (cadev) per Juli 2018 menunjukkan penurunan keenam kali dari posisi tertinggi pada awal tahun. Kendati demikian, imbuh Bhima, posisi cadev tetap dalam kategori aman lantaran masih memenuhi kebutuhan 6,9 bulan impor.


Indef menilai bahwa sampai pengujung tahun rupiah akan terdepresiasi. Alhasil, bank sentral harus menghemat cadangan devisa. Terkait hal ini, BI disarankan agar tidak mengandalkan cadev saja mengingat instrumen ini merupakan pertahanan moneter terakhir.

“Cadangan devisa terus memburuk karena merupakan instrumen stabilisasi moneter yang diperlukan dalam jangka panjang,” ujar Bhima.

(Baca juga: Terus Turun 6 Bulan Terakhir, Cadangan Devisa Juli US$ 118 Miliar)


Penyusutan cadangan devisa dipengaruhi permintaan dolar di dalam negeri yang meningkat untuk membiayai impor bahan baku maupun barang modal, serta guna membayar kewajiban utang yang jatuh tempo. Di samping itu, kurs rupiah terhadap dolar AS loyo terimbas penyesuaian Feds Fund Rate yang akan naik dua kali lagi.


Direktur Eksekutif Center of Reform on Economy (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan, penyusutan cadangan devisa berpotensi membesar dengan mempertimbangkan kondisi nilai tukar rupiah tersebut.

“Potensi pelemahan nilai tukar rupiah itu akibat dorongan kenaikan suku bunga acuan The Fed dan dampak eskalasi perang dagang,” ujar dia.

Aspek lain yang perlu dicermati adalah akselerasi impor mengingat sebagian pelaku industri sangat mengandalkan suplai bahan baku dari luar negeri. Belum lagi soal kenaikan harga minyak dunia yang mengerek nilai impor migas.

Menurut Faisal, sampai akhir tahun ini cadev masih di atas US$ 100 miliar. Realisasi per Juli tahun ini sebesar US$ 118,3 miliar setara dengan Rp 1.707 triliun. Nilai ini menunjukkan penurunan US$ 13,7 miliar atau sekitar Rp 197,7 triliun dari level tertingginya pada Januari. Pada awal tahun, posisi cadev di kisaran US$ 131,98 miliar.