Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mengerek bunga acuan BI 7 Days Repo Rate sebesar 0,5% ke level 5,25%. Ini artinya, bunga acuan naik total 1% sepanjang Mei-Juni 2018. Kenaikan agresif tersebut dilakukan di tengah kembali melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kenaikan bunga acuan tersebut diharapkan mampu menarik dana asing kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia sehingga mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
“Dengan kenaikan 50 basis poin ini akan membawa imbal hasil pasar keuangan Indonesia khususnya pasar fixed income Indonesia, SBN, kompetitif dan menarik bagi investor termasuk investor asing. Dengan masuknya inflow ke bursa fixed income khususnya SBN tentu akan menambah supply dolar karenanya akan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers di Gedung Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Jumat (29/6).
(Baca juga: Rupiah Tembus 14.400 per Dolar AS, Termasuk Mata Uang Terlemah)
Perry menjelaskan, perubahan kebijakan moneter sejumlah negara dan ketidakpastian global membuat pembalikan modal asing dari pasar keuangan berbagai negara dan pelemahan mata uang terhadap dolar AS. Maka itu, berbagai negara termasuk Indonesia perlu mengambil kebijakan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan membuat penempatan di pasar keuangan domestiknya lebih menarik terutama bagi investor global.
Secara rinci, ia memaparkan, ketidakpastian global yang dimaksud yakni kemungkinan Bank Sentral AS menaikkan lebih cepat bunga acuannya, rencana bank sentral Eropa memperkecil pembelian aset mulai September tahun ini, kebijakan bank sentral Tiongkok menurunkan Giro Wajib Minimum dan pelemahan mata uang yuan, kenaikan harga minyak, serta ketegangan hubungan dagang antara AS dan Tiongkok.
Lebih jauh, Perry menjelaskan, untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pihaknya siap untuk terus melakukan intervensi di pasar jika diperlukan. Selain itu, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan pemerintah untuk menekan defisit transaksi berjalan yang turut me mperberat tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Selain menaikkan bunga acuan, BI juga menaikkan bunga fasilitas simpanan (deposit facility) dan fasilitas pinjaman (lending facility) sebesar 0,5% menjadi masing-masing 4,5% dan 6%. Kebijakan BI ini langsung berlaku pada Jumat (29/6) ini.
Sebelumnya, beberapa ekonom juga menyarankan kenaikan bunga acuan, namun lebih kecil yaitu sebesar 0,25%. Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono berpendapat kenaikan lebih besar bisa menimbulkan kesan bahwa BI panik dan menjadi sentimen negatif bagi pasar. "Pasar bisa kian agresif membeli dolar AS," ujar dia.
Risiko tersebut juga sempat disinggung Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Meski begitu, ia menilai kebijakan tersebut bisa saja dilakukan asalkan dengan hati-hati agar tidak justru dipersepsikan negatif oleh investor asing atau dimanfaatkan oleh para spekulan untuk memperoleh untung valas.
Ia menjelaskan kenaikan agresif tersebut bertujuan untuk mengimbangi kenaikan bunga acuan AS dan memperkecil selisih (spread) antara imbal hasil US Treasury dengan imbal hasil SBN. "Sehingga spread dengan US Treasury tidak semakin lebar," kata dia.
(Baca juga: Investor SBN Minta Return Tinggi, Biaya Utang Pemerintah Akan Membesar