Direktur Jenderal Pengeolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan penjualan Saving Bond Ritel (SBR) atau SBR003 hingga batas akhir penawaran Jumat (25/5) mencapai Rp 1,93 triliun. Jumlah tersebut nyaris dua kali lipat di atas target minimal yang sebesar Rp 1 triliun.
SBR003 merupakan Surat Berharga Negara (SBN) perdana yang dijual secara daring (online). Penjualan SBN ini merupakan upaya pemerintah untuk memperdalam pasar SBN sekaligus untuk inklusi finansial. Melalui penjualan secara online, pemerintah berharap SBR ini bisa diserap investor berusia 40 tahun ke bawah, termasuk generasi milenial.
Seiring sistem penjualan yang secara daring, Luky menjelaskan, banyak investor muda berusia 25-40 tahun turut membeli SBR003. Investor dengan rentang usia tersebut mencapai 36,72% dari total investor. “Usia 25 tahun itu terjadi lonjakan yang paling besar,” kata dia di kantornya, Jakarta, Senin (28/5).
(Baca juga: Kemenkeu Jajakan secara Online Obligasi Retail Minimal Rp 1 Juta)
Secara keseluruhan, ada sebanyak 10.688 investor melakukan pemesanan, namun total yang menyelesaikan pembayaran sebanyak 7.642 investor. Rata-rata pembelian yaitu Rp 252,30 juta.
Terdapat 5.683 investor baru, sebanyak 44,15% di antaranya atau 2.509 investor tercatat berusia 25-40 tahun. Sementara itu, investor baru dari kelompok umur kurang dari 25 tahun tercatat sebanyak 561 investor. Jumlah ini naik 2,5 kali lipat dibandingkan ketika penjualan SBR001.
Adapun sebanyak 2% dari total investor yang melakukan pembelian melalui mitra distribusi teknologi finansial (financial technology/fintech), dengan berkontribusi terhadap total penjualan SBR003 sebesar 14%. Sisanya, melalui mitra distribusi lainnya yaitu perbankan dan perusahaan efek.
Sementara itu, berdasarkan volume pembelian, investor berusia matang atau di atas 50 tahun tercatat mendominasi yaitu sebesar 46,52%. Hal ini menunjukkan investor pada usia tersebut menginginkan investasi yang aman dan tidak berisiko.
Pemesanan tercatat dilakukan dari 34 provinsi, namun Jakarta tetap menjadi provinsi dengan nominal pemesanan terbesar, disusul oleh Jawa Barat dan Jawa Timur. Sedangkan, pemesanan terkecil berasal dari Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Maluku Utara. “Penjualan tersebar ke seluruh pelosok Indonesia. Cukup terwakili di setiap wilayah ada,” ujar Luky.