Pemerintah mulai mencairkan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI dan Polri, serta pensiunan pada akhir Mei 2018 ini. Lantas, bagaimana kebijakan THR untuk pegawai honorer? Pemerintah pusat dan daerah bakal memberlakukan kebijakan berbeda.
Dalam akun Facebook resminya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pegawai honerer atau kontrak di Satuan Kerja (Satker) pemerintah pusat bakal mendapatkan THR. Pemerintah pusat sudah mengalokasikan dana sebesar Rp 440,38 miliar untuk kebutuhan tersebut.
“Pegawai honorer seperti sekretaris, satpam, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubhakti (office boy atau cleaning service) dibayarkan tambahan honor sebesar satu bulan sebagai THR,” demikian tertulis. (Baca juga: PNS, TNI/Polri, dan Pensiunan Dapat THR dan Gaji ke-13 Lebih Besar)
Dalam rangka mengatur pemberian honor tersebut, telah diterbitkan surat Dirjen Perbendaharaan No S-4452/PB/2018 pada 24 Mei 2018. Saat ini, Satker pemerintah pusat mulai memproses pembayaran honor untuk pegawai honorer tersebut sesuai ketentuan. Harapannya, pegawai honorer bisa menerima THR honor sebelum Idul Fitri.
Dengan demikian, seluruh pegawai non-PNS di instansi pusat (Kementerian/Lembaga) dipastikan mendapatkan THR. Secara rinci, pegawai non-PNS yang diangkat oleh Pejabat Kepegawaian misalnya melalui Surat Keputusan (SK) Menteri diberikan THR sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 53 Tahun 2018.
Termasuk dalam kategori tersebut yaitu dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT), bidan PTT, tenaga penyuluh Keluarga Berencana (KB), dan lainnya. (Baca juga: THR PNS Naik, Gubernur BI Ramal Ekonomi Kuartal II Tumbuh 5,15%)
Sementara itu, pegawai non-PNS atau pegawai honorer yang diangkat oleh Kepala Satker seperti sopir, satpam, pramubhakti, sekretaris dan lain-lain, diberikan THR sesuai alokasi pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), kontrak kerja dan SK, berdasarkan PMK Nomor 49 Tahun 2017 dan pembayarannya menggunakan PMK Nomor 190 Tahun 2012.
Di sisi lain, kebijakan berbeda berlaku di daerah. Sri Mulyani menjelaskan, berdasarkan informasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), daerah tidak menganggarkan THR atau gaji ke-13 bagi non-PNS, karena honor bagi tenaga non-PNS melekat pada setiap kegiatan.
Dengan demikian, apabila kegiatannya dilaksanakan dalam 12 bulan, maka honornya diberikan sebanyak 12 bulan. Namun, “Pegawai honorer daerah dapat diberikan THR sejalan dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku sejauh kemampuan keuangan daerah memadai untuk memberikan THR,” demikian tertulis.
Sementara itu, untuk petugas kebersihan dan sopir yang merupakan karyawan outsourcing, maka THR menjadi kewajiban perusahaan outsourcing yang mempekerjakan.
Adapun kebijakan THR untuk PNS daerah, termasuk perangkat desa yang berstatus PNS, mendapatkan THR dan gaji ke-13 sama seperti PNS di Kementerian/Lembaga, hanya besarannya disesuaikan dengan penghasilannya (gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, dan tunjangan perbaikan penghasilan di masing-masing daerah).
Khusus untuk guru daerah, besaran THR tidak termasuk tunjangan profesi guru (TPG) atau tunjangan khusus guru di daerah terpencil (TKG). Namun, sesuai Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, Pemerintah Provinsi dapat memberikan tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) untuk PNS daerah, termasuk guru.
TTP diberikan berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Kebijakan pemberian TPP bagi guru di masing-masing daerah berbeda-beda, ada daerah yang memberikan TPP dan TPG/TKG kepada guru, dan ada daerah yang tidak memberikan TPP, karena guru sudah mendapatkan TPG/TKG,” demikian tertulis.