Direktorat Jenderal Pajak mencatat penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per akhir April 2018 tumbuh sekitar 13-14% secara tahunan. Namun, para ekonom menilai pertumbuhan double digit tersebut belum bisa mencerminkan perkembangan konsumsi rumah tangga.  

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, pencatatan PPN masih perlu diperbaiki untuk bisa mencerminkan konsumsi rumah tangga. “Tahun depan mungkin sudah bisa jadi indikasi (konsumsi rumah tangga) kalau catatan sudah benar,” kata dia kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.

(Baca juga: BPS: Masyarakat Perkecil Porsi Belanja, Pilih Menabung dan Investasi)

Menurut David, pertumbuhan PPN saat ini lebih mencerminkan peningkatan kepatuhan pemungut PPN dalam melakukan penyetoran, terutama setelah program amnesti pajak. Adapun selama ini, ia menyebut masih ada pemungut PPN yang memanipulasi setorannya.

Di sisi lain, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai penerimaan PPN saat ini masih terlalu kecil. Menurut perhitungannya, minimal 80% Produk Domestik Bruto (PDB) semestinya kena PPN 10%.

Ini artinya, dengan posisi PDB yang menembus Rp 13.000 triliun, maka potensi penerimaan PPN bisa mencapai Rp 1.000 triliunan. Jika penerimaan PPN bisa 60% dari potensinya, maka bisa sekitar 600 triliunan. “Kita bisa ke restoran, bayar PPN. PPN itu dibayar tidak ke pemerintah?” kata dia.

Halaman: