Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menyarankan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan bunga acuan BI 7 Days Repo Rate sebesar 0,25% guna meredam pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Langkah itu dinilai lebih baik ketimbang terus menghamburkan cadangan devisa.

Kenaikan bunga acuan diharapkan bisa meningkatkan daya tarik penempatan dana dalam rupiah. Dengan begitu, bisa meredam kemungkinan orang berbondong-bodong beralih ke penempatan dana dalam aset ataupun mata uang dolar AS. "Meski tidak ada jaminan (kenaikan bunga acuan) bisa menjaga depresiasi (kurs rupiah) tapi setidaknya mengurangi beban cadangan devisa," kata Tony dalam diskusi di Jakarta, Rabu (9/5).

Menurut dia, BI semestinya tidak perlu menunggu lama untuk menaikkan bunga acuan, sebab negara lain seperti Tiongkok sudah menaikkan bunga acuannya. “Kalau cadangan devisa terkuras, pasar akan semakin grogi,” kata dia. Adapun bunga acuan BI berada di level 4,25% sejak September 2017. (Baca juga: Bos BEI Dukung Kenaikan Bunga Acuan untuk Stabilkan Kurs Rupiah)

Tony menjelaskan, BI memang memiliki perjanjian bantuan fasilitas devisa dari negara lain, seperti Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Fasilitas tersebut bisa menjadi bantalan bagi cadangan devisa. Namun, fasilitas tersebut belum pernah diaktifkan selama 18 tahun. Respons pasar atas penggunaan fasilitas itu pun belum terukur.

"Lebih baik manfaatkan peluru yang dimiliki yakni kenaikan suku bunga (acuan)," ujarnya. Ia menyarankan kenaikan bertahap bunga acuan sebesar 0,25%. Tapi, jika depresiasi kurs rupiah sudah semakin besar, kenaikan bisa sebesar 0,5%.

Ia tak menyarankan kenaikan lebih tinggi dari itu lantaran dikhawatirkan justru menimbulkan kepanikan di pasar keuangan. "Bisa timbul efek psikologis," ujarnya. (Baca juga: BI Tak Ragu Naikkan Bunga Acuan Jika Kurs Rupiah Bahayakan Stabilitas)

Dalam diskusi yang sama, Head of Economic and Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah dan mata uang negara berkembang lainnya terhadap dolar AS dipicu oleh arus keluar dana asing seiring ekspektasi kenaikan bunga acuan bank sentral AS.

Arus keluar juga seiring kebijakan pemotongan pajak di AS hingga perang dagang dengan Tiongkok. "(Ini) memicu permintaan dolar AS karena banyak perusahaan membawa kembali dana ke sana," kata Enrico.

Meski begitu, ia mengatakan, depresiasi nilai tukar rupiah yang sebesar 3,3% sepanjang tahun ini masih lebih baik ketimbang rupee India dan ringgit Malaysia. Ia pun optimistis dengan ketahanan ekonomi domestik dalam menghadapi tekanan saat ini.

Ia berpendapat, ketahanan ekonomi Indonesia sudah lebih baik dibandingkan 10 tahun yang lalu. Hal itu tercermin dari kenaikan peringkat utang jangka panjang Indonesia. “Cadangan devisa juga naik nonstop sejak 2016 kuartal III. Kita jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata dia.

Cadangan devisa tercatat mencapai level tertingginya sepanjang masa yaitu US$ 131,98 miliar pada Januari 2018. Setelah itu, cadangan devisa mulai tergerus seiring membesarnya kebutuhan untuk stabilisasi kurs rupiah. Per akhir April, cadangan devisa tercatat Rp 124,9 miliar. (Baca juga: Tekanan Kurs Rupiah Berlanjut, Cadangan Devisa Tergerus US$ 1,1 Miliar)

Dalam hitungan BI, level tersebut masih memadai lantaran mampu membiayai 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Level tersebut berada di atas kecukupan internasional yaitu tiga bulan impor.    

Reporter: Ameidyo Daud Nasution