Cadangan devisa terus tergerus seiring membesarnya kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia (BI) melansir cadangan devisa per akhir April 2018 sebesar US$ 124,9 miliar, atau turun US$ 1,1 miliar dari posisi akhir Maret 2018.
“Penurunan cadangan devisa pada April 2018 terutama dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi,” demikian tertulis dalam siaran pers BI, Selasa (8/5).
Meski begitu, level cadangan devisa tersebut dinilai masih cukup tinggi lantaran setara dengan pembiayaan 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” demikian tertulis. (Baca juga: Kurs Rupiah di Atas Rp 14.000, Kemenkeu Sebut Dampak ke APBN Positif)
Ke depan, BI memandang cadangan devisa akan tetap memadai didukung oleh terjaganya keyakinan investor terhadap prospek perekonomian domestik yang membaik dan kinerja ekspor yang positif. (Baca juga: Rupiah di Atas 14 Ribu, Kadin: Baik untuk Ekspor, Menyulitkan Impor)
Jumlah cadangan devisa turun sejak Februari 2018. Sejak itu hingga akhir April 2018, cadangan devisa telah tergerus sebesar US$ 7,08 miliar. Penurunan seiring dengan membesarnya kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Adapun nilai tukar rupiah mengalami pelemahan sejak akhir Januari 2018, terutama dipicu oleh arus keluar dana asing seiring ekspektasi kenaikan lebih cepat bunga acuan AS. Mulai Senin (7/5) lalu, nilai tukar rupiah tercatat menembus Rp 14 ribu per dolar AS. Level ini merupakan yang terlemah sejak Desember 2015. (Baca juga: Kurs Rupiah Tembus Rp 14 Ribu setelah Rilis Data Pertumbuhan Ekonomi).
Gubernur BI Agus Martowardojo menyebut tekanan terhadap nilai tukar rupiah berpotensi semakin menguat di kuartal II tahun ini. Penyebabnya, kebutuhan pemerintah dan swasta akan dolar AS membesar untuk membayar dividen dan bunga ke luar negeri, serta impor. Namun, ia memastikan BI akan terus berada di pasar untuk melakukan stabilisasi.