Lelang Surat Berharga Negara (SBN) semakin sepi peminat. Dalam dua lelang terakhir, permintaan dari investor tercatat terus turun, sedangkan imbal hasil yang diminta semakin tinggi. Alhasil, dana yang diserap pemerintah pun jauh di bawah target. Di tengah kondisi tersebut, pinjaman luar negeri dari organisasi internasional maupun negara lain jadi opsi menarik.

Pemerintah merencanakan penerbitan Surat Berharga Negara (neto) sebesar Rp 414,52 triliun untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Hingga akhir Maret lalu, realisasinya sudah mencapai Rp 143,82 triliun atau 34,69%. Namun, dalam dua kali lelang terakhir di akhir April dan awal Mei, permintaan investor turun drastis dibandingkan sebelumnya.

Dalam lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias Sukuk Negara Rabu (2/5), permintaan yang masuk hanya Rp 5,53 triliun, dan yang diserap pemerintah hanya Rp 1,38 triliun. Padahal, pemerintah menargetkan penyerapan Rp 8 triliun. Sebelumnya, dalam lelang SBN Selasa (24/4), permintaan yang masuk Rp 17,02 triliun, sedangkan yang diserap hanya Rp 6,15 triliun. Padahal, target penyerapan Rp 17 triliun hingga maksimal Rp 25,5 triliun.

Kementerian Keuangan memperkirakan, penurunan permintaan lantaran adanya kekhawatiran kenaikan agresif bunga acuan Amerika Serikat (AS), pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, kenaikan harga komoditas dunia, hingga ketegangan geopolitik. Di sisi lain, terbatasnya penyerapan oleh pemerintah lantaran imbal hasil yang diharapkan investor cukup besar. (Baca juga: Beda Pendapat Ekonom Soal Penyebab Tekanan di Pasar Modal Indonesia)

Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting menyakinkan, pemerintah sudah menyiapkan alternatif untuk mengamankan target pembiayaan yang diperlukan. Ia pun membenarkan adanya kemungkinan beberapa persen dari target penerbitan SBN digeser menjadi pinjaman luar negeri dari lembaga internasional maupun negara lain. Adapun rencana awalnya, pemerintah hanya akan menarik pinjaman luar negeri (bruto) sebesar Rp 51,35 triliun.  

“Kemungkinan tersebut ada,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (3/5). Alternatif sumber pembiayaan, menurut dia, selalu disiapkan pemerintah. “Jadi bukan karena lelang Sukuk kemarin, baru cari alternatif sumber pembiayaan,” ujarnya. Namun, ia tak memerinci pinjaman luar negeri yang siap mengucur jika dibutuhkan.

Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan pinjaman lunak dari lembaga internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank/ADB) maupun negara lain patut diupayakan. Meskipun, pinjaman tersebut sebetulnya untuk negara-negara ekonomi menengah ke bawah. “Tapi patut dicoba, dengan lobi-lobi barangkali bisa akses ke pinjaman lunak,” kata dia.

Adapun pinjaman lunak memiliki aspek positif dan negatif. Menurut dia, persyaratannya biasanya banyak meskipun bunga ringan, misalnya keharusan bahan baku diimpor dari negara pemberi pinjaman hingga penggunaan tenaga kerja dari negara tersebut. Persyaratan itu bisa jadi ganjalan untuk pemerintah mengambil pinjaman.

Selain itu, penggunaan pinjaman juga harus sesuai peruntukan dan akan diawasi secara ketat oleh peminjam. Ini berbeda dengan SBN yang tidak memiliki persyaratan ketat dan penggunaan dananya bebas ditentukan oleh pemerintah. Tapi, imbal hasilnya ditentukan pasar.

Saat ini, imbal hasil SBN diakui dalam tren kenaikan seiring pengetatan moneter di negara-negara maju. Namun, ia melihat potensi imbal hasil SBN kembali turun lantaran bank sentral AS tidak mengisyaratkan bakal ada kenaikan agresif bunga acuannya. “Harusnya rebound, enggak setinggi sekarang,” kata dia.

Untuk meningkatkan permintaan SBN, David menilai ada sumber-sumber dana domestik yang bisa didorong untuk masuk, misalnya dari dana pensiun, dana haji, asuransi, termasuk BPJS Kesehatan. Pemerintah juga bisa memperbanyak instrumen pembiayaan untuk menarik dana domestik dan asing, misalnya lewat penerbitan saving bonds.