Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mendukung revisi aturan mengenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor. Ia mengusulkan agar tarif PPnBM bukan lagi dibedakan berdasarkan jenis kendaraan, melainkan harganya.
“Berdasarkan threshold (batasan) harga saja lebih fair (adil),” kata Prastowo kepada Katadata, Jumat (9/2). Ia mencontohkan, mobil dengan harga di atas Rp 2 miliar bisa dikenakan tarif 40%, di atas Rp 1 miliar dikenakan tarif 20%, dan di atas Rp 500 juta tarifnya 10%.
Usulan tersebut menanggapi Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto yang meminta adanya revisi PPnBM untuk sedan. Sebab, saat ini, sedan dengan kapasitas di bawah 1.500 cc dikenakan tarif PPnBM 30%, sementara mobil lainnya seperti minibus dengan kapasitas cc yang sama dikenakan PPnBM sebesar 10%.
Dengan adanya revisi PPnBM, Airlangga berharap produksi sedan di Indonesia meningkat, bahkan Indonesia dapat menjadi eksportir sedan. Salah satu negara yang bisa disasar untuk ekspor sedan yaitu Australia. (Baca juga: Menperin Minta Tarif Pajak Barang Mewah untuk Sedan Diturunkan)
Menurut Prastowo, usulannya tersebut bisa jadi solusi yang tepat, sebab dengan PPnBM berdasarkan harga, tidak semua sedan masuk kategori mahal dan mewah lagi. “Karena ada sedan murah, non-sedan mahal,” kata dia. “Masa Vios kena lebih tinggi dibandingkan Alphard?”
Di luar itu, ia mendukung pemberlakuan cukai untuk emisi karbon kendaraan dan mengusulkan diterapkannya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas gas buang saat uji kendaraan bermotor alias uji kir.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengaku belum bisa berkomentar banyak mengenai usulan revisi PPnBM yang diajukan Menperin.
“Tentunya usulan-usulan seperti itu akan dibahas dan didiskusikan secara baik oleh Kementerian Keuangan dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai lead-nya,” kata dia.
Namun, ia menjelaskan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang berlaku saat ini sudah mengakomodir kepentingan ekspor. Sebab, tidak ada pengenaan PPnBM untuk barang mewah yang diekspor.
Bahkan, apabila terdapat komponen PPN maupun PPnBM pada waktu perolehan atau produksi mobil, maka dapat direstitusi. “Dengan demikian dalam hal ekspor, aspek kompetitifnya tidak bisa dilihat dari faktor PPN maupun PPnBM,” kata dia.