Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, porsi kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) rupiah yang bisa diperdagangkan telah mencapai 41%. Kondisi ini meningkatkan risiko di pasar SBN sebab masih terdapat ketidakpastian global yang bisa memicu arus keluar dana asing (capital outflow).

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai memang perlu ada upaya untuk meredam risiko arus keluar dana asing. Ia pun mengusulkan agar pemerintah menerbitkan SBN dengan ketentuan holding period atau batas waktu minimal masa kepemilikan.

"Misalnya, obligasi tenornya lima tahun, tiga tahunnya itu di-hold (tidak boleh dijual). Jadi, asing yang beli obligasi itu tidak bisa keluar selama tiga tahun tapi diberi kupon yang menarik," kata Lana kepada Katadata, Selasa (30/1). Ia menyarankan agar holding period juga diberlakukan untuk investor domestik. Dengan begitu, volatilitas harga SBN lebih terjaga.

Mengacu pada data Kemenkeu, per Jumat (26/1), kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 873,14 triliun atau 41,44% dari total SBN domestik yang bisa diperdagangkan. Porsi tersebut meningkat dari Januari 2017 yang masih di kisaran 37,85%. (Baca juga: Banjir Dana Asing, Rupiah Menguat Nyaris 2% Sejak Awal 2018)

Meski begitu, Lana melihat investor domestik sebetulnya sudah makin banyak masuk ke SBN. Sebab, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mewajibkan dana pensiun, asuransi, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan serta Kesehatan untuk menanamkan minimal 30% dari seluruh dana investasinya di SBN. "Tapi memang asing juga masuk banyak. Tidak bisa dihindari," ucapnya.

Adapun untuk menggaet lebih banyak investor domestik, pemerintah berencana memperbesar penerbitan SBN retail. Agar rencana tersebut sukses, Lana berpendapat pemerintah perlu meningkatkan bunga (kupon) yang ditawarkan. (Baca juga: Tarik Investor Lokal, Kemenkeu Perbanyak Obligasi Retail di 2018)

"Kalau misalnya mau memikat retail, harus lebih tinggi (bunganya). ORI (Obligasi Retail Indonesia) 2015 sukses karena bunganya masih tinggi," kata dia.

Pada 2015, pemerintah menerbitkan ORI Seri 012 bertenor tiga tahun dengan kupon 9% per tahun. Ketika itu, target indikatif penyerapan dana Rp 20 triliun, namun ORI tersebut laku keras hingga pemerintah menyerap dana Rp 27,4 triliun. Namun, setelah itu, kupon terus menurun.

Pada 2017, pemerintah menerbitkan ORI Seri 014 bertenor tiga tahun dengan kupon terendah sepanjang masa yakni 5,85%. Target indikatif penyerapan dana Rp 20 triliun, namun yang berhasil diserap hanya Rp 8,95 triliun. (Baca juga: Penjualan ORI 55% di Bawah Target, Hanya Laku Rp 8,95 Triliun)

"Buat invetor retail, kalau dia di-hold tiga tahun merasa tidak nyaman sehingga dia (bandingkan) dengan taruh di deposito. Walau bunganya lebih kecil daripada ORI, tapi setiap saat dia bisa ambil karena sifat depositoya adalah satu bulan yang diperpanjang terus," kata Lana. Maka itu, ia menyarankan ada tingkat bunga yang lebih tinggi ke depan.