Lembaga kajian ekonomi independen Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyatakan dibutuhkan kebijakan yang inovatif untuk bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2018 agar sesuai target 5,4%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terakhir stagnan di level 5%.
Ekonom dan founder CORE Indonesia Hendri Saparini menjelaskan, ekonomi domestik tengah mengalami perubahan yang cepat lantaran perkembangan pesat dalam hal teknologi informasi seperti internet dan robotisasi, hingga perubahan gaya hidup masyarakat. Kebijakan pemerintah harus bisa mengakomodir perubahan tersebut.
"Tanpa adanya kebijakan yang inovatif, CORE memprediksi ekonomi Indonesia di tahun 2018 akan tumbuh marginal di kisaran 5,1-5,2%," kata Hendri di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (28/11). Adapun tahun ini, pertumbuhan ekonomi diprediksi hanya berada di kisaran 5,05-5,1%, di bawah target dalam revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu 5,2%.
Menurut pendapat dia, Jokowi perlu mendongkrak ekonomi ke level 6% untuk bekal pemilihan presiden 2019 mendatang. Hal ini penting untuk membuktikan 'Jokowi Effects' benar-benar membuat perekonomian Indonesia tumbuh signifikan. Maka itu, inovasi kebijakan perlu dilakukan. (Baca juga: Ekonomi Kuartal III Lima Negara ASEAN Melaju, Indonesia Tertinggal)
"Jokowi harus melakukan inovasi kebijakan untuk mengatasi semua hambatan yang selama ini menahan laju pertumbuhan ekonomi. Harus diakui bahwa hambatan tersebut dipicu terbatasnya ruang fiskal yang kemudian berujung pada rendahnya partisipasi swasta," ujarnya.
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia lainnya, Mohammad Faisal memprediksi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama ekonomi domestik masih akan tertahan di level 4,95-5% tahun depan. Namun, konsumsi golongan menengah ke bawah diprediksi akan lebih baik jika dibandingkan golongan atas.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong perbaikan konsumsi golongan menengah ke bawah. Pertama, Pilkada serentak. Kedua, peningkatan belanja bantuan sosial (bansos) yang bersumber dari APBN maupun APBD. Ketiga, peningkatan harga-harga komoditas yang memberikan peningkatan pendapatan. Keempat, inflasi yang diprediksi tetap rendah. Tingkat inflasi diperkirakan di level 3,5%.
"Tetapi konsumsi masyarakat menengah atas belum banyak meningkat karena cenderung menahan belanja hingga situasi politik benar-benar stabil dan kebijakan perpajakan pemerintah menjadi lebih kondusif," ujar Faisal.
Dari sisi investasi, Ekonom CORE lainnya Ina Primiana mengatakan, perbaikan peringkat kemudahan berusaha yaitu global competitiveness dan ease of doing business (EODB) tidak akan banyak berdampak pada pertumbuhan investasi baik domestik maupun asing apabila tidak disertai perubahan kebijakan pemerintah yang komprehensif dan terintegrasi.
Ia pun mencontohkan pertumbuhan investasi di sektor sekunder seperti manufaktur selama tiga kuartal 2017 yang melambat jika dibandingkan 2016. "Berbagai masalah yang menghambat investasi belum terpecahkan. Di antaranya pembebasan lahan, tumpang tindh peraturan, dan lemahnya koordinasi yang berhubungan pendistribusian kewenangan dan pengambilan keputusan," ujarnya.