Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan pimpinan perusahaan tekstil PT SPL. Perusahaan tekstil tersebut diduga melakukan ekspor fiktif yang berpotensi merugikan negara sekitar Rp 118 miliar.
Ketua PPATK Kiagus Ahmad Badarudin mengatakan penemuan dugaan TPPU berdasarkan pengembangan perkara yang dilakukan PPATK bersama Kejaksaan Agung (Kejakgung). Kasus ekspor fiktif PT SPL telah dibongkar Kementerian Keuangan.
Kiagus mengatakan dirinya mengikuti aliran uang PT. SPL sehingga bukan hanya operator namun aktor intelektualnya juga dikenakan pasal pencucian uangnya, "Jadi penikmat atau aktor intelektualnya juga (diketahui)," kata Kiagus dalam konferensi pers di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (2/11).
(Baca juga: Penerimaan Seret, Sri Mulyani Bidik Rasio Pajak Cuma Naik 1 Persen)
Direktorat Jenderal Bea Cukai, PPATK, serta Kejaksaan Agung telah membongkar penyelewengan PT SPL yang menerima fasilitas kawasan berikat dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk. PT SPL melakukan ekspor fiktif dengan menjual barang berupa tekstil ke pasar dalam negeri. Padahal kewajiban barang tersebut diekspor ke luar negeri.
"Kami membongkar kasus ini bekerja sama dengan PPATK, dengan cara mencegah ekspor pada Juni 2016 yang kemudian ditindaklanjuti dengan audit investigasi," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Berdasar audit investigasi, kasus PT. SPL juga menyebabkan kerugian negara dengan nominal Rp 118 miliar. Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengatakan penyidik bea cukai telah mengamankan FL sebagai Direktur Utama dan BS selaku Direktur Keuangan PT. SPL sebagai tersangka TPPU.
Heru menjelaskan penyitaan tindak pidana ini dengan barang bukti apartemen senilai Rp 700 juta, polis asuransi dengan nilai melebih Rp 1 miliar, 16 rekening dengan nilai di atas Rp 6,7 miliar, tanah dan bangunan dengan nominal Rp 23 miliar, hingga mesin tekstil senilai Rp 1 miliar. "Itu berhasil kami bekukan semua," kata Heru.
(Baca juga: Setahun Berdiri, Pusat Logistik Sumbang Rp 157 Miliar ke Negara)
Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan selain TPPU, para tersangka juga diancam dua pasal yakni 102 huruf F dan Pasal 103 UU Kepabeanan dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun mendekam dalam penjara. Hal ini disampaikan dirinya agar para importir kawasan berikat tidak main-main terhadap penyelewengan kawasan tersebut. "Denda maksimal juga mencapai Rp 5 miliar," katanya.
Sri Mulyani meminta Ditjen Bea Cukai untuk mengembangkan kejadian seperti ini mengingat ada 1.400 kawasan berikat yang ada di seluruh Indonesia. Fungsi kawasan tersebut sebenarnya untuk memudahkan pengusaha mengakses bahan baku impor untuk selanjutnya diolah dan diekspor kembali."Dengan dikenakan TPPU maka kami harap hukumannya setimpal," katanya.