Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengkhawatirkan konflik yang terjadi di Semenanjung Korea akan mengganggu pertumbuhan ekonomi di Asia. Sebab, selama ini, pertumbuhan ekonomi Asia ditopang oleh kuatnya daya beli dan investasi seiring kondisi yang aman dan nyaman.

"Kondisi geopolitik yang terjadi saat ini, saya rasa akan menjadi faktor dominan (ketidakpastian) di Asia," kata dia saat peluncuran laporan Bank Dunia bertajuk "Indonesia Economic Quarterly (IEQ)" di Soehana Hall Energy Building, Jakarta, Selasa (3/10). (Baca juga: ADB: Perbaikan Ekonomi Tiongkok Dorong Lonjakan Ekspor Asia)

Ketegangan di Semenanjung Korea meningkat dalam beberapa pekan terakhir seiring aksi saling ancam yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Ketegangan tersebut terkait program pengembangan nuklir oleh Korea Utara.

Di tengah kondisi itu, Sri Mulyani menekankan pemerintah akan tetap berfokus pada upayanya membangun infrastruktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Ia pun menepis kekhawatiran Bank Dunia bahwa anggaran untuk pembangunan infrastruktur berpotensi berkurang untuk dialihkan ke subsidi menjelang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) di 2019.

Menurut dia, komitmen pemerintah tetap sama yakni membangun infrastruktur untuk memperkecil jurang (gap) ketersediaan infrastruktur dengan negara lain. Harapannya, iklim investasi bisa lebih baik sehingga daya saing Indonesia menguat. (Baca juga: Bank Dunia Pangkas Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jadi 5,1%)

"Presiden kami sangat pragmatis. Kami akan tetap mendorong perbaikan iklim investasi ke posisi yang lebih baik dibanding yang lain. Seperti India, kami akan lompati lagi (peringkat daya saing negara lain)," kata dia.

Baru-baru ini, World Economic Forum melansir peringkat daya saing Indonesia naik lima peringkat ke posisi 36 dari 138 negara. Indonesia bahkan termasuk top inovator di antara negara-negara yang pasarnya tengah berkembang. (Baca juga: Daya Saing Indonesia Posisi 36 Dunia, Realisasi Investasi Masih Seret)

Menurut Sri Mulyani, ini merupakan gambaran bahwa peraturan-peraturan di Indonesia sudah lebih sederhana sehingga investasi bisa berjalan baik. Ke depan, pemerintah juga akan terus berupaya menjaga agar ekonomi terus tumbuh sehat melalui kombinasi kebijakan.

Di sisi lain, Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Rodrigo Chaves menyampaikan bahwa kebutuhan infrastruktur di kota-kota besar Indonesia sangatlah besar. Minimnya investasi selama bertahun-tahun telah menyebabkan terjadinya defisit infrastruktur yang besar. Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia dan membatasi laju pengentasan kemiskinan.

Menurut dia, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang hanya sepertiga dibanding negara berkembang (emerging market) lainnya menyiratkan adanya ketertinggalan infrastruktur. Untungnya, ia merasa pemerintah Indonesia menyadari pentingnya infrastruktur. 

Mengingat besarnya kebutuhan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, ia pun mendorong pemerintah menggandeng swasta. Ia mencatat, pemerintah menargetkan investasi tambahan di sektor transportasi, air bersih, energi dan sektor utama lainnya sebesar lebih dari US$ 400 miliar selama 2015-2019.

"Sektor swasta dapat membantu Indonesia memenuhi kebutuhan infrastrukturnya yang besar dengan lebih efisien dan efektif," kata Rodrigo.

Namun, peningkatan partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur membutuhkan perbaikan dari segi hukum dan peraturan. Lalu, perbaikan dalam hal perencanaan proyek, proses penilaian dan seleksi, serta transparansi dan efisiensi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selama ini mendominasi pelaksanaan pembangunan infrastruktur.

Selaoin itu, diperlukan juga pendalaman pasar keuangan dalam negeri. "Diperlukan upaya lebih lanjut untuk mempercepat laju investasi sektor swasta untuk menutup kesenjangan infrastruktur dengan negara-negara berkembang lainnya," kata dia.