Penurunan Suku Bunga Belum Cukup untuk Genjot Penyaluran Kredit

Arief Kamaludin|KATADATA
Chatib Basri
Penulis: Miftah Ardhian
26/9/2017, 16.46 WIB

Penurunan suku bunga Bank Indonesia, BI 7-Days Repo Rate dinilai belum bisa menjadi stimulus untuk menggenjot penyaluran kredit, agar kinerja industri semakin ekspansif guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Perlu stimulus lain dari sisi fiskal untuk meningkatkan permintaan.

Advisory Chairman Mandiri Institute Chatib Basri mengatakan BI memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan karena inflasi yang cenderung rendah. Kebijakan ini pun tidak terlalu mengagetkan terbukti dari pergerakan nilai tukar rupiah yang stabil, tidak bergejolak.

Chatib menjelaskan, isu yangs esungguhnya harus diselesaikan adalah terkait permintaan bukan suku bunga, Dengan permintaan yang minim, membuat industri enggan melakukan ekspansi. Dengan tidak adanya ekspansi, maka, tidak dibutuhkan pinjaman dana dari lembaga keuangan. Akibatnya, pagu dana untuk pinjaman di perbankan pun tidak tersalurkan. Alhasil, perekonomian tidak bergerak dan sulit memacu pertumbuhan ekonomi.

"Kalau dorong ekonomi kita, tidak bisa lewat monetery policy (kebijakan moneter). Harus lewat fiskal, karena perlu ciptakan permintaan dulu," ujar Chatib saat ditemui di Hotel Fairmont Senayan, Jakarta, Selasa (26/9). (Baca: Target Pertumbuhan Ekonomi Diprediksi Meleset Meski Bunga Acuan Rendah)

Selain itu, tantangan penurunan suku bunga ini adalah kebijakan perbankan yang akan menurunkan bunga deposito sebelum menurunkan bunga kreditnya. Hak ini bisa membuat nasabah akan melarikan dananya ke instrumen investasi lain seperti di pasar modal, terutama obligasi milik pemerintah. Hasilnya, sumber uang yang niat awalnya untuk dipinjamkan akan terpengaruh,

Chatib menjelaskan, lesunya berbagai sektor industri ini akibat dari harga komoditas yang turun. Kemudian, upah riil kelompok 40 persen pendapatan terbawah seperti buruh, petani, dan asisten rumah tangga juga ikut menurun. Di sisi lain, ekspansi fiskal tidak mengalami peningkatan yang signifikan, sehingga stimulus dari fiskal ini menjadi terbatas. Apalagi pendapatan pajak juga turun karena harga komoditas yang rendah.

Stimulus fiskal merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang ditujukan untuk 40 persen kelompok pendapatan terbawah tersebut. Makanya, cara paling efektif meningkatkan permintaan adalah dengan mengandalkan kelompok tersebut.

"Karena, kelompok menengah bawah itu tidak punya tabungan. Jadi, dia pasti belanja. Kalau dia pasti belanja, dia bakal ada permintaan. Kalau ada yang minta, perusahaan akan ekpansi. Kalau perusahaan ekspansi maka akan pinjam uang dan (perekonomian) itu akan jalan," ujar Chatib.

Chatib pun menyarankan, bantuan langsung kepada masyarakat tersebut perlu dilakukan. Program Keluarga Harapan (PKH) memang telah dilakukan, tapi kenaikan jumlah penerimanya dari 6 juta rumah tangga menjadi 10 juta rumah tangga dinilai belum berdampak signifikan. Program ini akan berdampak apabila jumlah rumah tangga tersebut dinaikan menjadi 20 juta.

Dia juga masih mempertanyakan efektifitas penyaluran dana desa. Kebijakan ini akan lebih baik apabila pemegang dana tersebut sudah cukup siap dan teredukasi dengan baik. Karena, banyak pemegang dana ini yang belum tau kewajibannya untuk memiliki bukti penggunaan dana seperti kuitansi. Uangnya pun harus dipisahkan dari uang pribadinya.

"Mereka tidak tahu perencanaan, kalau harus ada kuitansi. Nanti kalau diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hilang kuwitansinya, (malah) dianggap kerugian negara," ujar Chatib. Untuk itu, pendampingan harus dilakukan agar kesalahan seperti itu tidak terjadi dan penyerapannya bisa maksimal.