Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menilai positif ekonomi digital yang kini tengah berkembang. Menurut dia, ekonomi digital bisa membantu efisiensi di sektor ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Ujung-ujungnya, mendorong perekonomian tumbuh pesat.
"Kami yakin bahwa revolusi digital yang tengah berlangsung, bila dimanfaatkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi 7% per tahun,” kata Agus saat membuka seminar nasional Big Data di Gedung BI, Jakarta, Rabu (9/8). Adapun rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir hanya 5,64%.
Agus menjelaskan, potensi ekonomi digital memang sangat besar. Saat ini, jumlah pengguna internet yang berbelanja melalui jaringan (online) di Indonesia, misalnya, mencapai 24,74 juta orang. "Setiap pengguna e-commerce di Indonesia rata-rata membelanjakan Rp 3 juta per tahun. Aktivitas belanja online yang tinggi ini sejalan dengan keaktifan orang Indonesia di berbagai media sosial," kata dia. (Baca juga: Belanja Online Naik, Potensi Pajak Hilang Rp 20 Triliun per Tahun)
Adapun selama setahun terakhir para pengguna internet sudah membelanjakan uangnya sekitar US$ 5,6 miliar atau Rp 75 triliun per tahun di berbagai e-commerce. Di sisi lain, jumlah perusahaan penyedia jasa teknologi keuangan alias financial technology (fintech) tumbuh 78% selama 2015-2016. (Baca juga: Telkom Kaji Rencana Akuisisi 10 Fintech dan Toko Online)
Ke depan, Agus meyakini, peran ekonomi terhadap perekonomian Indonesia bakal makin besar. Menurut Agus, mengacu pada kajian McKinsey Indonesia pada 2016 ekonomi digital diproyeksi akan memberi nilai tambah sebesar US$ 115 miliar atau setara 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2025. Teknologi digital juga dipercaya akan membantu penyerapan tenaga kerja hingga empat juta orang di 2025.
Untuk membantu pengembangan ekonomi digital, BI mulai mengembangkan Big Data mengenai aktivitas ekonomi digital. Harapannya, Big Data tersebut bisa dimanfaatkan regulator dalam membuat kebijakan dan pelaku usaha dalam membuat keputusan bisnis. Namun, Agus mengakui pengembangan Big Data tidak mudah.
Menurut catatannya, ada empat hambatan dalam mengembangkan Big Data. Pertama, ketersediaan dan akses terhadap sumber data. Data yang dimiliki harus real time sehingga bisa menjadi basis perumusan kebijakan atas situasi terkini.
Kedua, aksesiblitas data yang sering berbenturan dengan aspek kerahasian data. Maka itu, menurut dia, perlu dibangun mekanisme agar pemilik data bersedia membagi datanya tanpa khawatir akan aspek kerahasiaannya.
Ketiga, kualitas data. Sebab, salah satu karakteristik Big Data adalah veracity atau keyakinan akan kebenaran data. Maka itu, diperlukan pembersihan data apabila data-data yang ada ternyata masih data mentah yang banyak mengandung noise.
Keempat, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dengan kualifikasi sebagai data scientist. Maka itu, diperlukan kolaborasi yang kuat dengan akademisi.
Menurut Agus, jika hambatan-hambatan tersebut bisa diatasi maka Big Data bakal bisa sangat bermanfaat. "Keputusan bisnis akan lebih akurat, mendorong terciptanya inovasi-inovasi baru, sembari menciptakan ekosistem perekonomian yang lebih inklusif," ucapnya.
Di sisi lain, Agus menyebut pengembangan ekonomi digital juga masih menyisakan persoalan yakni penetrasi internet di Indonesia yang tergolong masih rendah, yaitu baru sekitar 51% pada 2016. Angka ini jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang masing-masing mencapai 71% dan 67%. Bahkan, Inggris dan Jepang, penetrasi internetnya sudah melebihi 90%.
"Penyebab utamanya karena kualitas layanan internet yang relatif masih tertinggal dibandingkan negara lain," kata dia. Persoalan lainnya, yakni investasi di bidang teknologi informasi yang masih tertinggal dibanding negara lain. (Baca juga: Ekonom dan Bankir: E-Commerce Bukan Penyebab Utama Retail Lemah)