Kinerja penjualan sejumlah perusahaan ritel tercatat melemah pada paruh pertama tahun ini. Ekonom Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menduga pelemahan terjadi lantaran daya beli masyarakat stagnan. Penyebabnya, masyarakat menahan diri untuk berbelanja setelah melihat rencana kebijakan pemerintah.
“Saya yakin betul (daya beli stagnan) ini karena persepsi. Itu harus dijaga. Saya merasa, redenominasi dan pemindahan ibukota menambah perkara. Belum lagi soal defisit anggaran yang diperkirakan mencapai 2,92% dari Produk Domestik Bruto,” kata dia di sela-sela acara bertajuk ‘Wealth Wisdom’ di Pacific Place, Jakarta, Rabu (2/8).
Ia juga menyinggung soal ide penyesuaian Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mencuatkan ide penyesuaian PTKP berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) di masing-masing daerah. Bila itu diterapkan, maka PTKP di beberapa daerah bakal turun.
Sebelumnya, beberapa ekonom dan pejabat negara menduga pelemahan penjualan yang dialami sejumlah perusahaan ritel akibat masyarakat beralih ke belanja melalui jaringan internet (online). Jadi, bisa jadi bukan karena daya beli yang lemah. (Baca juga: Penjualan Unilever dan Mayora Semester I Melemah, Indofood Stagnan)
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan pertumbuhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 13,5% menunjukkan adanya peningkatan transaksi jual beli. Artinya, daya beli masyarakat masih positif. Adapun kondisi pusat perbelanjaan yang sepi diduga karena pola belanja masyarakat yang bergeser menjadi secara online.
Adapun Tony meyakini penyebabnya memang adalah daya beli yang stagnan. Sebab, data penjualan dari produsen barang juga tak banyak berubah dari paruh pertama tahun lalu. “Ini bukan hanya soal shifting (pergeseran) dari (belanja) konvensional menjadi online, tetapi data hulunya juga bermasalah. Hulu itu pabriknya,” kata dia.
Bila pemerintah berkilah bahwa daya beli masih positif, “seharusnya data (penjualan di hulu) ini selaras (dengan pertumbuhan pendapatan ritel). Tapi ini tidak,” ucapnya. (Baca juga: Kinerja Bank Kecil Terpukul Lesunya Perdagangan dan Daya Beli)
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, kenaikan PPN saat ini bukan karena transaksi jual beli yang membaik. Melainkan karena ada peningkatan kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak setelah pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty).
“PPN naik itu karena compliance-nya yang naik, bukan karena transaksi. Itu karena pelaksanaan amnesti pajak kemarin itu,” tutur dia.