Utang pemerintah tercatat sebesar Rp 3.706,5 triliun hingga Juni 2017. Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun mempertanyakan rincian pemanfaatan utang tersebut. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya tak bisa mengidentifikasinya.
“Saya meminta data valid tentang utang negara dan dialokasikan ke sektor mana saja," kata Anggota Komisi Keuangan Haerul Anam saat Rapat Kerja dengan pemerintah di Gedung DPR, Jakarta, Senin (24/7). Menurut dia, data tersebut diperlukannya untuk memberikan penjelasan kepada rakyat.
Sri Mulyani menjelaskan, mayoritas utang pemerintah dalam bentuk surat berharga negara (SBN). Utang jenis SBN tidak bisa ditelusuri penggunaannya karena langsung masuk ke kas negara bersamaan dengan penerimaan dari sumber lainnya seperti pajak.
Berbeda jika utang berbentuk pinjaman seperti ke Bank Dunia atau Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF) yang memiliki tujuan atau proyek tertentu. "Uang utang (dari SBN) dan pajak berkumpul jadi satu di kas negara. Enggak bisa katakan US$ 1 ke mana?" kata dia.
Secara rinci, Sri Mulyani memaparkan, utang dalam bentuk SBN tercatat sebesar Rp 2.979,5 triliun atau 80,4 persen dari total utang pemerintah. Sedangkan sisanya, Rp 727,02 triliun dalam bentuk pinjaman.
Secara umum, ia menjelaskan bahwa uang dalam kas negara digunakan untuk berbagai belanja pemerintah seperti membayar gaji, belanja barang, dan belanja modal. “Saya enggak bisa identifikasi apakah ini uang utang atau pajak. Tapi bisa diidentifikasi jumlahnya," tutur dia.
Adapun soal penambahan utang, ia menjelaskan, hal tersebut perlu dilakukan untuk pembangunan infrastruktur. Menurut dia, investasi di bidang infrastruktur telah menurun jauh di banding 20 tahun silam. Ketika itu, investasi infrastruktur mencapai 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), namun saat ini hanya 35% terhadap PDB. (Baca juga: Utang Pemerintah Bengkak, Ekonom: Tanpa Berutang, Pajak Naik)
Rendahnya pembangunan infrastruktur, di antaranya yang terkait transportasi, telah berdampak pada mahalnya biaya hidup masyarakat. Berdasarkan data Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, kebutuhan pendanaan infrastruktur prioritas mencapai Rp 4.796 triliun.